Menjawab Tuduhan : Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menyatu dengan Allah dan dia menjadi Allah ???
Jawaban:
Wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad adalah;
نفسى جهة من عملولا خطرة ولا رادة ا لي رَأَيْتُنِى فِى الْمَنَامِ عَيْنَ اللهِ و تَيْقَّنْتُ اَنَّنى هُوَ وَلَم يَبْقَ
وَصِرْتُ كَانَاءٍ مُنْثَلِمٍ بَل ْكَشٍيْيءٍ تَاَبِّطَهُ شَيْءٌ اَخَرُ وَ اَخْفَاهُ فِى نَفْسِهِ حَتَّى مَا بَقِىَ مِنْهُ اَثَرٌ وَلاَ
رَائِحَة ٌوَصَارَ كَالْمَفْقُوْدِيْنَ -- وَاعِنِى بِعَيْنِ اللهِ رُجُوْعِ الظلِّ اِلىَ اَصْلِهِ وَغَيْبُوبَتَهُ ْفِيْهِ كَمِا يَجْرِى مِثلُ هَذِهِ اْلحَالاَتِ فِي بَعْضِ اْلاَوْقاَتِ عَلىَ اْلمُحِبِّيَنَ-)
Artinya:
”Aku melihat diriku sendiri dalam mimpi, bahwa aku benar-benar Allah dan aku yakin bahwa aku adalah Dia. Aku sama sekali tidak tidak punya hasrat/ keinginan, tidak pula punya daya dan kemauan untuk berbuat sesuatu yang timbul dorongan dari diriku sendiri. Dan jadilah keadaanku ini bagaikan mangkuk yang sudah hancur, bahkan layaknya barang yang terhimpit oleh barang yang lain, hancur lumat, hilang seluruhnya tersembunyi, tanpa bekas, tak ada baunya”. (Tadzkirah, edisi 1969, h.195)
Namun oleh para orang jahil, sebagian kata-kata wahyu itu diubah sehingga maknanya menjadi buruk dan bertolak belakang. Kalimatnya menjadi;
رَأَيْتُ فِيْ الْمَنَامِ بِأَنّي اِلَهٌ وَ ايْقنَتُ اَنْنِي أنَا هُو اللهُ بِعَيْنِهِ وَ خَطَرَ بِبَالى اَنْ اَصلَحَ الدُّ نْيَا و اُنْظِمَهَا بِنِظَامٍ جَدِيْدٍ اَيْ اَخْلُق السَّمَاء
Artinya:
“Aku melihat dalam mimpi bahwa aku sungguh-sungguh Tuhan dan aku sepenuhnya yakin bahwa aku benar-benar adalah Dia, Allah Yang sejati. Timbul benar-benar dorongan dari diriku untuk mereformasi dunia ini, dan merobah sistemnya dengan tatanan yang baru, yakni aku ciptakan langit yang baru”.
Pengalaman rohani yang dilihat dalam alam mimpi -atau disebut kasyaf-, yang ditampakkan secara lahiriyah adalah suatu kelaziman. Tetapi hal ini tidak berarti terjadi secara lahir.
Sebagai contoh, mimpi Nabi Yusuf as, tentang bersujudnya 11 bintang, matahari dan bulan kepada beliau as (Surat Yusuf 12: 4). Tidak berarti ketiga benda planet itu bersujud dihadapan Nabi Yusuf as.
Demikian juga dengan Hadis :
“Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Di waktu tidur aku melihat dua gelang emas pada dua tanganku.”
(HR Bukhari, Kitabur Ru’ya, Babun-Nafhi Filmanam, vol 2, hal 49; vol 4, hal 134)
Mimpi Rasulullah saw yang memakai gelang emas (hal yang dilarang bagi laki-laki, oleh syariat Islam), bukan berarti beliau saw mengenakan gelang emas secara harfiah.
Jika pengalaman ruhani atau mimpi itu dialami oleh Mirza Ghulam Ahmad, dianalogikan seperti dijelaskan diatas, apa hak para penentang untuk menyatakan keberatan mereka?
Mirza Ghulam Ahmad sendiri, menjelaskan makna mimpi itu, ialah :
“Kami tidak memaknai peristiwa ini sebagaimana yang dimaknakan dalam kitab para pengikut kitab Wihdatul-Wujud (yakni Penyatuan dengan Tuhan) dan juga tidak memaknakan hal itu seperti pendapat para Huluyin (Tuhan menitis dalam diriku). Peristiwa ini sesuai dengan hadis Nabi saw (Hadis Bukhari), tentang penjelasan martabat hamba Allah yang shaleh dan yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah swt melalui ibadah nafal.”
Hadis tersebut menjelaskan, jika seorang hamba Allah, berusaha mendekat kepada-Nya dengan mengerjakan ibadah nafal, maka Allah akan mencintainya, apabila Allah telah mencintainya, maka Dia akan menjadi telinganya jika ia mendengar, Dia akan menjadi matanya jika ia melihat, Dia akan menjadi tangannya, jika ia memegang serta Dia akan menjadi kakinya jika ia berjalan.”
Makna jika seseorang bermimpi seolah-olah dia menjadi Tuhan, menurut hadis Nabi saw;
“Seorang yang melihat dalam mimpi bahwa ia seolah-olah benar menjadi Tuhan, maka artinya Allah swt akan segera menyampaikan kepadanya, petunjuk-Nya”. (HR Bukhari, Kitabur-riqaq, Babut-Tawadih, jilid 4, hal 80, cetakan Matabu’llahiyah Mesir)
Makna mimpi menjadi Tuhan juga terdapat dalam Kitab Ta’tirul-Anam Fii Ta’biril-Manam, hal 9, karya Syeikh Abdul Ghani An-Nabsuli, cetakan Mesir, yakni; “Siapa yang melihat dalam tidur, seakan-akan ia menjadi Allah swt, maka ia akan dipimpin ke jalan yang lurus”.
(Lihat, Sinar Islam, Mei 1982, hal 53)