Silaturrahim dan Dialog bertema : “Solusi Yang Bijak Penyelesaian Preblem Ahmadiyah Dalam Bingkai NKRI”, yang diprakarsai MUI Sulawesi Utara, Rabu (13/04), mulai pukul 08.00 s/d 12.00., di Hotel Sahid Kawanua, Jl. Samratulangi Manado, berlangsung aman-lancar, dan dari sisi missi tabligh – setidaknya klarifikasi tentang jemaat, termasuk dalam katagori sukses.
Silaturrahim dan dialog diawali dengan sambutan Ketua MUI Sulut, KH. Fauzi Nurani, sambutan Mubaligh Wilayah Ahmadiyah Sulut, Mln. Harun Mokoagow, dan pembacaan doa pembukaan yang dipimpin KH. Wahab, yang juga salah seorang pengurus MUI Sulut.
Ketua MUI Sulut dalam kata sambutannya menyampaikan pengantar yang sangat humanis, al : ”Menyikapi situasi dan kondisi menghadapi permasalahan-permasalahan yang timbul selama ini terutama sering terjadinya kesalahfahaman antara WNI sendiri, khususnya dengan saudara-saudara Jemaat Ahmadiyah, maka kami berusaha untuk melakukan langkah awal menautkan tali silturrahim dinatara kita, sehingga kami mengharapkan secara perlahan namun pasti, akan mencairkan kekakuan-kekakuan komunikasi yang sebenarnya kita ciptakan secara bersama-sama, kita tidak perlu lagi mencari dan menelusuri siapa pelakunya tetapi kita pasti sependapat bahwa hidup bersama penuh kedamaian itu sangat indah. Memang harus kita akui bahwa bukan hal mudah untuk mencairkan sesuatu yang berusia cukup lama ini, tapi kalau tetesan air terus menerus jatuh ke atas batu, lama kelamaan akan terbentuk lobang diatasnya, bahkan mungkin akan membentuk karya seni alam yang sangat indah, apa lagi hati manusia yang mendapat percikan secuil sifat Rahman dan Rahim dari Penciptanya. Insya Allah, dengan demikian, mungkin terlalu berlebihan, tapi kami mengharapkan akan terbentuk Ukhuwah Insaniyyah, Ukhuwah Diniyyah dalam kerangka menciptakan Ukhuwah Wathaniyah.
Lebih lanjut Ketua MUI Sulut mengatakan : ”Retasan jalan ke arah ini, kami akan menghadirkan narasumber, yang pertama, Bapak H. Muhammad Syaeful ’Uyun, yang akan menginformasikan tentang apa dan bagaimana ajaran Ahmadiyah, kedua Bapak Prof. Dr. Ahmad Ali, SH MH, yang akan memberikan pandangan-pandangan hukum secara obyektif, dan yang ketiga Bapak Ahmad Hariadi yang akan menjadi pembanding atas penjelasan-penjelasan dari narasumber sebelumnya, dengan harapan tidak akan menjadi dialog berkepanjangan dalam forum silaturrahim ini, tetapi kami mengharapkan akan menjadi bahan berpijak untuk menjadi bahan ulasan pada pertemuan-pertemuan silaturrahim selanjutnya, baik pada tingkat regional, maupun lokal, dalam memahami pandangan yang berkaitan dengan akidah, hukum negara, hak azasi manusia dan hubungan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kita dapat memilah-memilih dalam mencari solusi permasalahan-permasalahan yang kita hadapi bersama”, paparnya.
Sementara Mln. Harun Mokoagow, Muabligh Wilayah Sulut, setelah membaca tasyahud, ta’awudz, dan al-fatihah, selain mengucapkan terimakasih atas kehormatan yang diberikan MUI Sulut sehingga dirinya dan warga Jemaat dapat berkumpul ditempat itu, juga menyampaikan, ”silaturrahim dan dialog hari ini adalah yang pertama di Sulut, dan boleh jadi juga yang pertama di Indonesia. Semoga silaturrahim dan dialog hari ini bermanfaat : dapat menghubungkan dan mempererat tali ukhuwah islamiyah, dapat menumbuhkan semangat kebersamaan sebagai sesama umat Islam dan sesama warga bangsa Indonesia, dapat menumbukan cinta atas sesama umat Islam dan umat Muhammad, Rasulullah SAW., dan syukur alhamdulillah, jika dapat menurunkan tensi keinginan memangkas Ahmadiyah dari bumi ibu pertiwi, seperti yang akhir-akhir ini digelorakan MUI pusat dan MUI di daerah-daerah beserta beberapa kelompok massa umat Islam di tanah air, kepada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah-Pemerintah Daerah. Saya percaya, MUI Sulut, tidak seperti MUI di daerah-daerah lain. Insya Allah, silaturrahim dan dialog hari ini akan melahirkan Love for all hatred for none”, ujar Mln. Harun Mokoagow, yang asli putra Sulut itu. Selanjutnya, acara silaturrahim dan dialog dibuka dengan doa yang dipimpin KH Wahab, yang juga salah seorang Pengurus MUI Sulut.
Usai sambutan dan doa, pembawa acara, Drs. KH. Amin Lasuna, yang juga Pengurus MUI Sulut, lalu menyerahkan acara kepada Dr. dr. Taufiq Fasiak, Sekretaris Umum MUI Sulut, sebagai moderator untuk selanjutnya memimpin silaturrahim dan dialog.
Moderator kemudian memanggil satu persatu narasumber untuk duduk di meja podium yang telah disediakan. Narasumber pertama yang dipanggil saya sendiri, kemudian Ahmad Haryadi, dan kemudian menyusul Ahmad Ali.
Entah kebetulan, atau memang sudah di desain oleh Tuhan, tiga narsumber hari ini mempunyai kesamaan nama: Muhammad – sambil menunjukan tangannya ke arah saya, Ahmad dan Ahmad – sambil menunjukan tangannya ke arah Ahmad Haryadi dan Ahmad Ali. Yang terpuji, yang terpuji dan yang terpuji. Saya Taufik, insya Allah, ikut terpuji. Dengan tiga narasumber yang mempunyai kesamaan nama, mudah-mudahan silaturrahim dan dialog hari ini melahirkan kebersamaan dan cinta kasih, bukan permusuhan dan kebencian, paparnya.
Silaturrahim dan dialog semula hanya akan menampilkan dua narasumber, Ahmad Haryadi dan Ahmad Ali. Hingga menjelang acara dimulai, peserta dan dua narsumber tahunya, acara silaturrahim dan dialog hari itu hanya akan diisi oleh dua narasumber itu seperti yang tertera pada pada surat undangan. Setelah Ketua MUI memberikan sambutan, perserta dan dua narasumber baru tahu, acara silaturrahim dan dialog hari itu akan diisi tiga narasumber, nama saya sebagai narasumber pertama, yang diumumkan langsung Ketua MUI, kemudian Ahmad Haryadi dan Ahmad Ali. Masuknya nama saya sebagai narasumber yang diumumkan Ketua MUI itu sempat membuat terkejut Ahmad Haryadi dan Ahmad Ali, dan melahirkan kegembiraan pada peserta Jemaat. Nama saya sebagai narasumber memang baru ditetapkan beberapa saat saja sebelum acara dimulai, setelah Mln. Harun Mokoagow, H.M. Hayat Djafar, sekali lagi meminta agar dari pihak Jemaat bisa tampil sebagai narasumber. Ketika permintaan itu disampaikan, Ketua MUI bertanya siapa narasumber dari pihak Jemaat, disebutlah nama saya, maka Ketua MUI langsung mencatat nama lengkap saya pada naskah kata sambutannya. Maka, dalam kata sambutannya, nama saya pun diumumkannya sebagai narasumber.
"Saya tidak mungkin merubah susunan acara yg telah ditetapkan Ketua MUI Sulut. Untuk itu, saya persilahkan Bapak H. Muhammad Syaeful Uyun, untuk menyampaikan materinya, 20 menit", ujar Dr. dr. Taufiq Pasiak, mederator.
Saya pun, tak menyia-nyiakan waktu. Setelah mengucap salam, saya membaca syahadat, sholawat, bismillah dan ammaa ba’du, dengan pengantar, saya sengaja mengawali pembicaraan dengan membaca syahadat dan sholawat. Syahadat dan sholawat yang saya ucapkan bukan basa-basi, bukan pura-pura, bukan hanya sekedar dilisan. Saya mengucapkan syahadat dan sholawat dengan tulus dan ikhlas, dan sungguh keluar dari lubuk hati yang terdalam.
Selanjutnya, izinkan saya berpindah posisi – sambil berdiri pindah ke meja oprasioanl slide proyektor, dan izinkan saya membuka pemaparan materi ini dengan mengutip opini dua organisasi besar Islam di tanah air.
Halaman pertama slide saya buka dengan judul : ”Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sama-sama meyakini akan datang Nabi dan Rasul sesudah Nabi Muhammad SAW”.
Peserta yang hadir dari MUI dan tokoh agama, tampak kaget. Saya kemudian mencoba menenangkan, jika Anda kebetulan berlatar NU, atau Muhammadiyah, sangat boleh jadi Anda heran membaca judul pemaparan saya hari ini. Saya tidak akan bicara berdasar yang dilisankan, tapi saya akan bicara berdasar apa yang dituliskan.
Kemudian saya membuka halaman slide berikut yang berisikan kutipan buku ahkam al fuqaha dan Windon nomer mutiara terbitan HB. Muhammadiyah, dan membacakannya. Kesimpulan dari kutipan itu, keyakinan akan ada nabi lagi sesudah nabi Muhammad SAW., bukan hanya monopoli keyakinan Ahmadiyah, tapi juga merupakan keyakinan NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam arus utama di tanah air.
Halaman slide berikutnya saya tampilkan definisi orang beriman menurut Al-Quran, definisi mukmin, muslim, dan Islam menurut Nabi Muhammad SAW., serta pernyataan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad tentang keyakinannya kepada Islam.
Setelah itu barulah masuk ke pokok bahasan, tiga masalah krusial yang melatari Jemaat Ahmadiyah di fatwa sesat MUI dan di SKB-kan Pemerintah RI, yang diikuti dengan pertanyaan benarkan Ahmadiyah tidak mengakui Nabi Muhammad sebagi Khataman-Nabiyyin, benarkah Ahmadiyah mengakui ada lagi nabi baru yang ke-26 bernama Mirza Ghulam Ahmad, benarkah Ahmadiyah meyakini Tadzkirah sebagai kitab suci?
Tiga masalah krusial tersebut, dijawab dengan mengutip sabda-sabda Masih Mauud, yang isinya semua mementahkan isu yang berkembang di masyarakat selama ini, dan dengan diagram teologi kenabian persepektif Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah. Pemaparan materi di akhiri dengan mengutip kabar suka Hadhrat Masih Mu’ud, tentang kemenangan jemaat beliau, berikut motto : Islam = peace, Ahmadiyah = Love for all hatred for none.
Saat presentasi disampaikan, Ahmad Ali tampak menyandarkan punggungnya diatas kursi, lemes. Ahmad Haryadi terdiam. Ketua dan pengurus MUI yang lain pandangannya semua terarah pada layar slide. H.M. Hayat Djafar, Press Secretary Jemaat Sulut, larut dalam semangat pemaparan materi sehingga disela-sela pemaparan, tanpa sadar, menerikan narae takbir, yang sepontan oleh peserta Jemaat dijawab: Allaahu Akbar.
”Luar biasa. Pemateri, Bapak H. Muhammad Syaeful ’Uyun, mempunyai suara yang sangat lantang dan intonasi yang bagus sekali. Menyajikan materi dengan slide proyektor sangat menarik dan mudah untuk dimenegrti”, ujar Dr. dr. Taufiq Pasiak, moderator, mengomentari presentasi yang baru saja saya sampaikan.
Selanjutnya, moderator mempersilahkan Ahmad Haryadi menyampaikan makalahnya. Namun, Ahmad Haryadi mempersilahkan Ahmad Ali berbicara lebih dulu. Atas permintaan Ahmad Haryadi, moderator pun akhirnya mempersilahkan Ahmad Ali mempresentasikan makalahnya, sama 20 menit.
Tak ada yang baru yang dipaparkan Ahmad Ali. Ia hanya membaca makalah yang pernah ditulisnya di Harian Fajar Makassar, edisi Senin, 01 Nopember 2010, berjudul : Ahmadiyah Qadiyan Melanggar HAM Islam, yang malam harinya kebetulan sempat saya baca diinternet sebagai persiapan menghadapi Ahmad Ali hari itu.
Diawal makalahnya Ahmad Ali mengkiritisi para aktivis HAM yang selama ini membela Ahmadiyah. ”Para aktivis HAM harus membedakan HAM untuk berkeyakinan atau beragama, dan penistaan terhadap agama Islam”, ujar Ahmad Ali memulai pembicaraannya.
”Siapapun yang memasuki wilayah Republik Indonesia wajib tunduk kepada seluruh ketentuan hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Demikian juga di negara lain di dunia. Maka begitu juga, siapapun yang menggunakan nama Islam, wajib tunduk kepada semua akidah pokok agama Islam”.
”Mengakui Allah itu Ahad (teramat sangat tunggal), tidak beranak dan tidak diperanakkan, mengakui Alquran sebagai Kitab Suci Terakhir yang sudah sempurna, yang diwahyukan kepada nabi/rasul terakhir Nabi Muhammad saw sebagai Khataman Nabiyyin atau Nabi Penyegel, nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi-nabi lain setelah kenabian beliau; mengakui Kakbah di Mekah sebagai kiblat satu-satunya umat Islam”.
”Dan siapapun yang menggunakan nama Islam tetapi mengingkari akidah pokok di atas, terutama mengajarkan adanya nabi setelah Muhammad Rasulullah saw, jelas merupakan penistaan terhadap agama Islam. Penistaan agama merupakan tindak pidana, dan tindak pidana jelas merupakan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia)”, papar Ahmad Ali.
Ahmad Ali menunjukan contoh kesesatan Ahmadiyah, yaitu mengajarkan Allah mencium dan bersetubuh dan melahirkan sejumlah anak, dan Allah bersetubuh dengan nabi mereka Mirza Ghulam Ahmad (termuat dalam buku Mirza Ghulam Ahmad yang berjudul: Safinatu Nuuh halaman 47)
Selain itu, menurut Ahmad Ali, Ahmadiyah juga mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi di India, yang menerima wahyu Allah untuk menyempurnakan Islam ajaran Muhammad. Padahal, Alquran secara tegas menyatakan Islam sudah agama yang sempurna (Alquran Suci, Surah Al-Maidah ayat 3).
”Ahmadiyah Qadian juga memiliki kitab suci sendiri, tidak sah salat seseorang kalau tidak diimami oleh imam Ahmadiyah Qadian, dan setumpuk lagi penistaan mereka atas nama Islam Ahmadiyah Qadian. Anda mau tahu di mana kantor Ahmadiyah Qadian? Jangan kaget; di Israel!”, katanya.
Menyinggung soal pembubaran Ahmadiyah, Ahmad Ali mengatakan, benarkah pemerintah Republik Indonesia melanggar HAM kebebasan beragama jika melarang atau membubarkan Ahmadiyah Qadian? Sama sekali tidak! Itu bukan soal kebebasan beragama. Siapa saja bebas untuk menganut Islam atau menganut agama lain. Tidak ada paksaan dalam Islam. Bahkan yang tadinya umat Islam dan pindah ke agama lain, no problem. Tetapi jangan menggunakan label agama Islam.
”Solusi satu-satunya bagi penganut Ahmadiyah Qadian agar eksis hidup di Indonesia dan menikmati kebebasan untuk beragama sesuai HAM, adalah mengikuti Ahmadiyah Qadian di Pakistan yang menyatakan diri sebagai agama sendiri, yaitu agama Qadaniyah. Jika itu yang dilakukan oleh pengikut Ahmadiyah Qadian di Indonesia, tidak lagi mengaku sebagai agama Islam, tetapi agama Qadaniyah, maka berlaku argumen HAM untuk menikmati kebebasan beragama”, papar Ahmad Ali yang mengaku memiliki lima belas ribu judul buku Islam dan lebih dua ratus tafsir Al-Quran klasik maupun moderen, termasuk tafsir Al-Quran Maulana Muhammad Ali.
Ahmad Ali memaparkan, Ahmadiyah Qadian memang sesat dan menista agama, tapi tidak dengan Ahmadiyah Lahore. ”Lain halnya dengan Ahmadiyah Lahore dengan tokohnya Maulana Muhammad Ali, mereka tidak menyimpang dari akidah Islam. Keunikannya, penganut Ahmadiyah Lahore sangat rasional dalam menafsirkan ayat Alquran dan mirip dengan penafsiran para pembaru Islam di Mesir seperti Jamaluddin al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh. Tafsir karya Maulana Muhammad Ali yang berjudul: The Holy Quran, merupakan tafsir Alquran berbahasa Inggris yang memiliki peringkat pertama paling laku di dunia (di Amazon.Books.Com memiliki lima bintang). Jadi The Most Best Seller oleh pembaca berbahasa Inggris. Yang memiliki ranking kedua adalah tafsir karya Yusuf Abdullah Ali”, ujar Ahmad Ali bangga.
Menutup presentasinya, Ahmad Ali mengajak warga jemaat yang hadir, agar bertobat. Segeralah taubat nasuha, seperti Ahmad Haryadi, katanya.
Selesai Ahmad Ali memaparkan Ahmadiyah dari persepektif Hukum, tiba giliran Ahmad Haryadi dipersilahkan moderator untuk memaparkan Ahmadiyah dari sisi teologis dan pengalamannya sebagai Ahmadiyah selama lebih 10 tahun.
”Lov for all hatred for none”, ujar Haryadi mengawali pembicaraannya. Saya suka sekali dengan motto Ahmadiyah ini. Dan, sesuai dengan motto ini, saya juga sangat mencintai saudara-saudara warga Ahmadiyah, ujarnya mencoba menarik simpati.
Haryadi mengaku, hingga hari ini, setiap malam jumat, malam sabtu dan malam minggu, selalu meluangkan waktu menonton MTA – Muslim TV Ahmadiyah, programa bahasa Arab. Ada yang menarik dari tayangan itu, MTA selalu mengusung cinta untuk semua dan kebencian tidak untuk siapa pun, Islam agama damai dan rahmat bagi semua, dll, katanya.
Dulu, Haryadi memulai kisahnya, ketika saya di Ahmadiyah, dengan berpedoman kepada ayat: Yahkumu biha nabyyuuna,....(Al-Maidah:44), berkeyakinan dan mempropagandakan, nabi ada dua macam, ada yang membawa syariat dan ada yang tidak membawa syariat. Sekarang, setelah saya keluar dari Ahmadiyah, saya berkeyakinan, semua nabi membawa syariat. Nabi Isa membawa syariat, makanya Al-Quran mengatakan, wal yahkum ahlil injiil bimaa anjalal-llaahu fihi, wa maa lam yahkum bimaa anjalal-llaahu fa ulaaika humul faasiquun (Al-Maidah:47), ujar Haryadi sambil mengutip Al-Quran.
Mirza Ghulam Ahmad Ahmad, kata Haryadi lagi, juga nabi yang membawa syariat. Orang Ahmadiyah tidak boleh kawin dengan bukan Ahmadiyah, itu syariat. Orang Ahmadiyah harus mengikuti Al-wasiat, harus membayar candah Al-Wasiat 1/10 s/d 1/3, siapa yang tidak mengikutinya termasuk munafik, dan siapa yang mengkutinya akan menjadi ahli sorga dan berhak dikuburkan dipekuburan ahli sorga, itu semua syariat, papar Haryadi meyakinkan.
Dari Ghulam Ahmad yang dinilainya sebagai nabi pembawa syariat, Haryadi kemudian beralih kepada buku Tadzkirah. Sambil memperlihatkan buku Tadzkirah yang dibawanya, Haryadi mengatakan, ini adalah kitab tadzkirah. Disini berulang-ulang dikatakan Ghulam Ahmad adalah nabi dan rasul. Di halaman pertama kitab ini juga dikatakan Tadzkirah adalah kitab suci. Tadzkirah yakni wahyu muqaddas, katanya sambil mengangkat buku Tadzkirah yang dibawanya.
Kecuali ngarang dan menjajagkan fitah, tidak ada hal-hal menonjol yang disampaikan Ahmad Haryadi. Hanya, saat Haryadi berbicara, panitia membagi buku Ahmad Haryadi: Kenapa Saya Keluar Dari Ahmadiyah, kepada semua peserta Ahmadiyah. Peserta non-Ahmadiyah tidak dibagi, mungkin buku itu memang sengaja dipersiapkan hanya untuk warga Ahmadiyah, untuk melemahkan keyakinan warga Ahmadiyah, khususnya yang ada diwilayah Sulut.
Usai ketiga narasumber mempresentasikan materinya, moderator pun segera membuka sesi baru. ”Saudara-saudara, tiga narasumber telah menyampaikan materinya masing-masing. Sekarang kita akan masuk pada sesi tanya-jawab. Tanya-jawab akan kita bagi dua sesi: sesi pertama peserta Ahmadiyah bertanya kepada dua narasumber non-Ahmadiyah: Ahmad Ali dan Ahmad Haryadi, dan sesi kedua peserta non-Ahmadiyah bertanya kepada narasumber Ahmadiyah: H. Muhammad Syaeful Uyun”. Sekarang, saya persilahkan saudara-saudara peserta dari Ahmadiyah untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaannya”, ucap moderator membuka sesi tanya jawab.
Tiga orang peserta Ahmadi langsung angkat tangan, al: H.M. Hayat Djafar, Sugeng, dan Sujono, keduanya dari Konarom.
H.M. Hayat Djafar, menyampaikan: terkait buku Ahmad Haryadi: Kenapa Saya Keluar Dari Ahmadiyah, yang barusan dibagikan, 20 tahun lalu saya sudah baca, saya menerima dari saudara sendiri yang mengirimkannya. Jadi, buku ini bukan barang baru, dan tidak tidak ada artinya bagi saya, ujar H.M. Hayat sambil meletakan buku itu diatas meja, menanggapi buku Haryadi yang dibagikan saat Haryadi berbicara.
Terkait keberadaan Ahmadiyah, melanggar HAM atau tidak, mau dibubarkan atau mau dibiarkan, saya tidak peduli. Yang pasti, Ahmadiyah adalah menyangkut keyakinan dan keyakinan tidak akan pernah bisa dibubarkan, papar H.M. Hayat Djafar menanggapi pernyataan Ahmad Ali.
Yang ingin saya tanyakan adalah justru apa tanggapan Bapak H.M. Syaeful Uyun, sebagai Mubaligh Ahmadiyah, atas opini dua narasumber : Ahmad Ali dan Ahmad Haryadi.
Atas pertanyaan H.M. Hayat ini, moderator menyela, ya pertanyaan untuk pak Syaeful nanti ada waktunya, sekarang pertanyaannya ditujukan untuk dua narasumber : Ahmad Ali dan Ahmad Haryadi, selanya.
Sugeng, peserta Ahmadiyah dari Konarom tidak bertanya tapi menyampaikan semacam harapan. Ahmadiyah di Sulut selama ini aman-aman saja, tidak ada masalah. Torang samua disini bersaudara. Anda berdua, Ahmad Ali dan Ahmad Haryadi, boleh-boleh saja datang di Sulut, tapi jangan sampai kedatangan saudara-saudara malah membuat suasana damai berubah menjadi keributan disini, ujar Sugeng setengah mengingatkan.
Sujono, juga peserta Ahmadiyah dari Konarom bertanya kepada Ahmad Haryadi, Anda bilang Ghulam Ahmad juga membawa syariat. Orang Ahmadiyah tidak boleh kawin dengan non-Ahmadiyah merupakan syariat yang dibuat Ghulam Ahmad. Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana syariat Ghulam Ahmad itu diamalkan ketika saudara dulu jadi Ahmadiyah dan sebagai Mubligh Ahmadiyah.
Moderator mempersilahkan Ahmad Ali dan Ahmad Haryadi menanggapi pertanyaan tiga penanya ini. Tapi, hanya Ahmad Haryadi yang memberikan tanggapan. Jika sauadara-saudara keberatan membaca isi buku saya, kenapa saya keluar dari Ahmadiyah, tidak usah membacanya, bacalah lampiran-lampirannya, saudara-saudara nanti akan tahu kenapa saya keluar dari Ahmadiyah, kata Haryadi.
Dulu saya bukan Ahmadiyah, kemudian bai’at masuk Ahmadiyah. Ketika saya mau kawin, calon istri saya bukan Ahmadiyah, maka dibai’atkan dulu masuk Ahmadiyah, katanya.
Lho, katanya, syariat Ghulam Ahmad menetapkan, orang Ahmadiyah tidak boleh kawin sama yang bukan Ahmadiyah, kenapa saudara juga kawin dengan yang bukan Ahmadiyah, sela Sujono.
Ya, itu tadi yang saya sampaikan kan hanya bumbu saja, jawab Haryadi.
Spontan, semua perserta dialog burucap oooh....! merespons pernyataan Haryadi yang menyatakan, itu tadi yang saya sampaikan kan hanya bumbu.
Dari soal perkawinan, Haryadi beralih ke soal sholat Ahmadiyah yang tidak mau bermakmum dibelakang non-Ahmadiyah yang dinilainya juga sebagai syariat. Tetapi, belum lagi Haryadi selesai berbicara, Ibu Rahma, Ketua LI Kotamobagu, langsung menyela, bagaimana torang mau bermakmum, dan mengaminkan doa-doa, kalau imamnya, setiap hari bilang, bubarkanAhmadiyah, bubarkan Ahmadiyah, kata Ibu Rahma.
Haryadi terpepet, akhirnya dia hanya menyarankan, agar peserta Ahmadiyah lebih banyak lagi belajar Ahmadiyah. Nanti anda akan tahu, dimana letak kesesatan-kesesatannya, katanya.
Sesi kedua untuk peserta Ahmadi dibuka lagi. Maulana Nazir, Mubaligh lokal Manado, dan Syamsudin Lakoro, juga peserta dari Manado, kali ini angkat bicara.
Saya mau tanya sama Prof. Ahmad Ali. Bisakah Bapak menunjukan bukti tertulis kepada kami semua peserta Ahmadiyah disini, bahwa Ahmadiyah di Pakistan telah menyatakan keluar dari Islam dan membuat agama baru bernama Qadianiyah?, tanya Mln. Nazir singkat.
Syamsudin Lakoro, pertanyaannya ditujukan kepada Ahmad Haryadi. Saya sudah 20 tahun di Ahmadiyah, tapi saya merasa, ilmu-ilmu Ahmadiyah belum dapat saya serap semua. Saya merasa, tafsir shagir saja belum saya serap semua, apalagi tafsir kabir. Jika anda mengatakan pernah 10 tahun jadi Ahmadiyah, bagaimana anda bisa menyerap ilmu-ilmu Ahmadiyah secara sempurna. Terus terang, saya meragukan ilmu anda tentang Ahmadiyah, ucap Syamsudin Lakoro kepada Ahmad Haryadi.
Ahmad Ali tidak menunjukan secuil bukti pun kepada penanya dan kepada semua peserta dialog, bahwa Ahmadiyah di Pakistan telah menyatakan keluar dari Islam dan membuat agama baru bernama Qadianiyah. Alih-alih menunjukan bukti, ia malah hanya menganjurkan penanya untuk banyak-banyak membaca buku. Tidak nyambung antara pertanyaan yang ditanyakan dengan jawaban yang diberikan.
Anda belum membaca tafsir Al-Quran saya, ujar Haryadi menanggapi pertanyaan Syamsudin Lakoro. Beli-lah. Baca, nanti anda akan tahu. Ketua Jemaat Malang dan Sibti Ahmad, Mubaligh Ahmadiyah Jawa Timur, telah membeli 10 buah tafsir Al-Quran saya. Prof. Ahmad Ali saja, setelah membaca tafsir Al-Quran saya mengatakan, saya betul-betul merasa tercerahkan, kata Haryadi mengutip pernyataan sekutunya.
Dan, kata Haryadi lagi, anda belum merasakan apa yang saya rasakan. Cobalah anda keluar dari Ahmadiyah, anda pasti akan merasakan apa yang saya rasakan, katanya.
Menanggapi pernyataan Haryadi yang terakhir ini, peserta Ahmadi sepontan menyahut: tidak mungkiiiiiin, serunya serentak.
Haryadi pun kikuk, dan akhirnya ia hanya menganjurkan peserta Ahmadi membaca buku-buku Jemaat. Bacalah buku Tiga Masalah Penting dan Kabar Suka dari Maulana Cheema. Tadi saya tanya pak Syaeful, buku-buku itu masih dipergunakan, katanya.
Sesi kedua dibuka: peserta non-Ahmadiyah bertanya kepada narasumber Ahmadiyah. Moderator mempersilahkan pengurus MUI dan tokoh agama yang hadir menyampaikan pertanyaan-pertanyaannya.
KH. Abdullah Watukau, Ketua Komisi Fatwa MUI Sulut, langsung angkat tangan. Enam pertanyaan sekaligus diajukan Ketua Momisi Fatwa MUI Sulut itu. 1). Setelah mendengarkan pemaparan H. Muhammad Syaeful Uyun dari Ahmadiyah hari ini, timbul pertanyaan, fatwa MUI yang salah, buku-buku yang membahas Ahmadiyah yang salah, media massa yang memberitakan Ahmadiyah yang salah, atau Ahmadiyah yang Taqiyyah? 2) Apakah benar Ahmadiyah meyakini Tadzkirah sebagai Kitab Suci, 3) Mungkinkah Kitab Suci berbahasa campur baur, arab, urdu, Inggris? 4. Dalam Tadzkirah tertulis : Ya Ahmad, anta maksudi, wa maa’i...... 5. Apa maksudnya. 6. Apa tidak menandakan Ghulam Ahmad lebih mulia dari Nabi Muhammad?
Dua penanya angkat tangan lagi. Tapi, karena waktu makin sempit, dari satu penanya juga telah ada enam pertanyaan, maka pada sesi ini mederator membatasi hanya satu penanya saja. Saya pun dipersilahkan moderator menjawab pertanyaan sekaligus memenuhi permintaan HM. Hayat Djafar, menanggapi opini dua narasumber: Ahmad Ali dan Ahmad Haryadi, yang telah disampaikan diawal.
Sejak tahun 2005, Ahmadiyah di Indonesia ada dua versi. Ada Ahmadiyah versi Ahmadiyah dan ada Ahmadiyah versi MUI, kata saya memulai jawaban.
Hari ini, kata saya lebih lanjut, Ahmadiyah tambah dua versi lagi. Ada Ahmadiyah versi Ahmad Ali, dan ada Ahmadiyah versi Ahmad Haryadi. Terserah Bapak Kiyai, mau mengambil Ahmadiyah versi mana. Ahmadiyah versi Ahmadiyah seperti yang saya paparkan, atau Ahmadiyah Versi MUI, atau Ahmadiyah versi Ahmad Ali, atau Ahmadiyah versi Ahmad Haryadi. Tetapi, kalau mau yang sejatinya Ahmadiyah, itulah yang saya paparkan.
Ahmadiyah tidak mengenal Taqiyyah. Bagaimana Ahmadiyah mau Taqiyyah, syarat kedua bai’at masuk Ahmadiyah berbunyi: senantiasa akan menghindarkan diri dari segala macam corak bohong,.....Jadi, Ahmadiyah yang saya paparkan hari ini bukan Taqiyyah, tapi itulah sejatinya Ahmadiyah.
Tentang Tadzkirah. Ahmadiyah tidak pernah meyakini Tadzkirah sebagai Kitab Suci. Yang meyakini dan mempropaganadkan Tadzkirah kitab suci justru MUI, Ahmad Ali, dan Ahmad Haryadi. Anehnya lagi, orang percaya dengan propaganda MUI, Ahmad Ali, dan Ahmad Haryadi, bahwa Tadzkirah adalah kitab suci.
Jadi, sekali lagi, Ahmadiyah tidak pernah meyakini Tadzkirah sebagai kitab suci. Jika yang diyakini kitab suci oleh Ahmadiyah itu adalah Tadzkirah, sudah pasti yang terjemahkan kedalam berbagai bahasa untuk keperluan dakwah oleh Ahmadiyah adalah Tadzkirah, bukan Al-Quran. Buktinya, yang diterjemahkan Ahmadiyah kedalam 100 bahasa besar dunia untuk keperluan dakwah adalah Al-Quran, bukan buku Tadzkirah. Prof. Ahmad Ali bilang mempunyai 200 koleksi terjemah tafsir Al-Quran. Prof. Ahmad Ali mau terjemah tafsir dalam bahasa apa, Inggris, Perancis, Jerman, Cina, saya kasih kata saya, meyakinkan.
Allah adalah Rabb al alam, dan Rab Annas. Allah mengerti semua bahasa, termasuk bahasa manado, bahasa mongondow : mongaan don. Jadi, kalau Allah berbicara kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dalam ragam abahasa, tidak usah aneh dan tidak perlu diributkan. Dan, yang pasti, tak ada orang Ahmadiyah yang meyakini Tadzkirah sebagai kitab suci.
Ilham yang diterima Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad: anta maksudi wa maa’i, adalah bahasa tasawwuf. Mohon dimaklum, dan mohon bahasa tasawwuf, difahami dan diterjemahkan dengan bahasa tasawwuf.
Tanggapan saya atas dua narasumber: Ahmad Ali dan Ahmad Haryadi, dalam persepektif hukum maupun teologis, menurut saya biasa-biasa saja, dan sah-sah saja, hak Ahmad Ali dan Ahmad Haryadi beropini. Ahmad Ali berangapan, Ahmadiyah melanggar HAM Islam, dan melanggar HAM berarti pidana, serta Ahmadiyah menodai agama, hak Ahmad Ali untuk beropini seperti itu. Tetapi, jangan lupa, di tanah air ini, tidak sedikit ahli hukum yang juga tidak kalah terkenal dari Ahmad Ali, yang beranggapan, Ahmadiyah tidak melanggar HAM dan tidak menodai agama, bahkan telah menjadi korban pelanggaran HAM.
Ahmad Haryadi beranggapan Ghulam Ahmad adalah nabi membawa syariat, hak Ahmad Haryadi beropini seperti itu. Yang pasti, Ahmadiyah tidak pernah beranggapan, Ghulam Ahmad, nabi pembawa syariat. Kalau dalam Ahmadiyah ada candah al-wasiat 1/10 s/d 1/3, yang disinggung-singgung Ahmad Haryadi sebagai syariat yang ditetapkan Mirza Ghulam Ahmad, itu hanya persepsi Ahmad Haryadi saja, dan Ahmadiyah mengamalkan itu semata-mata hanya melaksanakan perintah Allah sebagaimana tercantum dalam Al-Quran : wa mimma razaqnaahum yunfiquun.
Ahmad Haryadi boleh beropini apa saja tentang Ahmadiyah saat ini. Ketika Ahmad Haryadi masih Ahmadiyah dan berstatus sebagai Mubaligh Ahmadiyah, saat bertugas di Lombok pada sekitar 1983-1985, dari Ampenan, ujung barat pulau Lombok, hingga Pancor, ujung timur pulau Lombok, berjalan menantang Tuan-Tuan Guru untuk Mubahalah. Dan, karena yakinnya pada kebenaran Ahmadiyah, Ahmad Haryadi, saat itu sampai berani mempertaruhkan lehernya. Jika dalam tiga bulan Tuhan tidak memberikan azab, potong leher saya, kata Ahmad Haryadi kepada Tuan-Tuan Guru yang ditantangnya mubahalah saat itu.
Cara yang dilakukan Ahmad Haryadi ini menyebabkan terjadi kehebohan, dan antipati para Tuan Guru terhadap Ahmdiyah, hingga 2007 saya bertugas di Lombok. Dan, karena cara yang dilakukan Ahmad Haryadi ini tidak sesuai dengan nizam, maka Ahmad Haryadi pun diberhentikan dari jabatan sebagai Mubaligh Ahmadiyah. Jadi, Ahmad Haryadi ini bukan berhenti dari Mubaligh Ahmadiyah, tapi diberhentikan dari Mubaligh Ahmadiyah.
Untuk Ahmad Ali, satu lagi saya ingin sampaikan, apa yang anda kutip dari Safinatun Nuh hal. 47, Allah mencium dan bersetubuh dan melahirkan sejumlah anak, dan Allah bersetubuh dengan nabi mereka Mirza Ghulam Ahmad, terjemahan seperti itu tidak ada dalam buku yang anda maksud. Saya punya bukunya, ini saya bawa, sambil saya tunjukan buku Bahtera Nuh, dan jika anda ingin haqul yaqin, buku ini akan saya berikan kepada anda.
Bertubi-tubi saya memberikan pukulan kepada dua narasumber, moderator akhirnya menghentikan saya dengan alasan waktu sudah habis. Tapi, moderator memberi waktu kepada dua narasumber itu untuk menanggapi jawaban saya, masing-masing enam menit.
Ahmad Ali hanya memanfatkan waktu tiga menit, itu pun tidak ada yang terarah. Terserah, bapak-abapak dan ibu-ibu, mau mengambil Ahmadiyah versi mana, versi saya, versi Ahmad Haryadi, atau versi Syaeful uyun, katanya.
Sedangkan Ahmad Haryadi sempat menambahkan pengalamannya keluar dari Ahmadiyah, dan disela-sela pembicaraannya ada seorang pngurus MUI yang meneriakan yel Allaahu Akbar, tapi tidak seorang pun yang menyambut.
Semarang, 21/04/2011
(M. Syaeful ‘Uyun)