Ali Dayan Hasan,
PENELITI SENIOR ASIA SELATAN UNTUK HUMAN RIGHTS WATCH, TINGGAL DI LAHORE
Bila ratusan orang Indonesia tewas dalam bom bunuh diri, siapa pun akan berharap politikus, partai politik, dan organisasi keagamaan mengutuk serangan tersebut tanpa peduli siapa korbannya. Tahun lalu terjadi serangan bom bunuh diri di Pakistan, namun tak seorang pun bersuara. Seorang politikus angkat suara, namun dia jadi cercaan berbagai pihak. Saya khawatir berbagai rangkaian kejadian yang menyebabkan Pakistan mengalami hal ini tampaknya sedang dan akan terjadi di Indonesia.
Pada 28 Mei 2010, kaum militan Islam menyerang dua masjid Ahmadiyah di kota Lahore, kota kelahiran saya, dengan senjata, granat, dan bom bunuh diri. Akibatnya, 94 orang meninggal dan lebih dari seratus orang luka berat. Kaum Taliban Punjab, kawan dari kaum Taliban Pakistan, Tehrik-e-Taliban Pakistan, mengaku bertanggung jawab. Kaum Taliban sebenarnya menargetkan bukan hanya kaum Ahmadiyah, tapi semua warga Pakistan--tak peduli apa pun agama atau golongannya. Tokoh oposisi Pakistan, Nawaz Sharif, mengutuk bom bunuh diri itu sebagai serangan terhadap "sesama saudara kita, warga Pakistan”.
Namun pernyataan Sharif disambut kemarahan partai politik Islam dan berbagai onderbouw Jamaat-e-Islami dan Khatm-e-Nabuwat--organisasi Islam internasional yang bertujuan "menjaga kepamungkasan Nabi Muhammad"--yang menganggap kaum Ahmadiyah sebagai sesat serta menyesatkan.
Kaum Ahmadiyah telah lama mengalami kriminalisasi di Pakistan. Apa yang terjadi di Pakistan harus dipelajari oleh orang Indonesia untuk memahami sifat dan tujuan pengganyangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Indonesia--secara verbal dan fisik. Nasib kaum muslim Ahmadiyah di Indonesia menunjukkan pola yang sama dengan di Pakistan: pengganyangan sistematis dan diskriminasi negara berdasarkan iman dan praktek keagamaan mereka. Selain itu, ada kaitan ideologis yang jelas dan spesifik antara organisasi anti-muslim Ahmadi di Pakistan dan di Indonesia.
Pada 1974, parlemen Pakistan bikin amendemen terhadap undang-undang dasar Pakistan di mana ada definisi atas apa yang disebut sebagai "Islam”. Amendemen ini membuat kaum Ahmadiyah secara legal jadi non-muslim. Amendemen ini mulai berlaku pada 6 September 1974.
Pada 1984, lima bagian dalam kitab hukum pidana Pakistan diubah, yang secara tersurat membuat kaum minoritas terpojokkan: ada ordonansi soal penistaan Islam; ordonansi pencemaran Al-Quran; larangan penghinaan terhadap istri, keluarga, atau kerabat Nabi; dan dua bagian khusus yang membatasi kegiatan muslim Ahmadi. Pada 26 April 1984, diktator Pakistan, Jenderal Zia ul-Haq, mengesahkan kedua bagian tersebut sebagai bagian dari Ordonansi Hukum Perang XX. Ordonansi XX ini melemahkan kegiatan agama minoritas secara umum, namun paling merugikan kaum muslim Ahmadi khususnya, dengan melarang mereka secara "langsung atau tidak langsung menyamar sebagai seorang muslim”.
Di Pakistan, kaum Ahmadiyah tidak bisa lagi menyatakan iman mereka, baik secara lisan maupun tertulis. Polisi Pakistan menghancurkan terjemahan dan tafsir muslim Ahmadi tentang al-Quran dan melarang publikasi muslim Ahmadi, penggunaan setiap istilah Islam di undangan pernikahan muslim Ahmadi, doa-doa di kuburan muslim Ahmadi maupun menorehkan kalimat syahadat --"Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah nabi Allah", sebuah prinsip utama dalam Islam--pada batu nisan pengikut muslim Ahmadi. Selain itu, Ordonansi XX melarang muslim Ahmadi menyatakan iman mereka secara terbuka, menyebarkan kepercayaan mereka, membangun masjid, atau melakukan azan. Singkatnya, hampir semua tindakan ibadah muslim Ahmadi dapat dijadikan tindak pidana.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Hukum Pidana tahun 1986, Parlemen Pakistan menambahkan Pasal 295-C pada kitab pidana. "Hukum Penistaan Agama", nama populer pasal tersebut, menghukum mati siapa pun orang yang dinilai menista agama Islam. Dengan Pasal 295-C, Zia dan pemerintah Pakistan melembagakan kriminalisasi terhadap muslim Ahmadiyah serta minoritas lain. Kepercayaan muslim Ahmadi dalam kenabian Mirza Ghulam Ahmad dianggap menghujat Allah dan "mencemarkan nama Nabi Muhammad”. Secara teoretis, muslim Ahmadi dapat dijatuhi hukuman mati hanya karena menjalankan keimanan mereka.
Akibatnya, banyak masjid Ahmadiyah dibakar, kuburan mereka dibongkar, dan keberadaan mereka dianggap kriminal. Sejak 1980-an, ratusan warga Ahmadiyah resmi didakwa melakukan tindak kriminal hanya karena menjalankan iman mereka. Beberapa warga Ahmadiyah didakwa penistaan agama Islam; beberapa orang dijatuhi hukuman seumur hidup atau mati, walau mereka masih menunggu banding. Tindak pidana ini termasuk pemakaian slogan Islam pada kemeja, rencana pembangunan masjid muslim Ahmadi di Lahore, dan menyebarkan literatur muslim Ahmadi di tempat umum. Akibatnya, ribuan warga Ahmadiyah meninggalkan Pakistan untuk mencari suaka di luar negeri.
Tidak mengherankan, prasangka anti-Ahmadiyah makin meluas di Pakistan. Landasan diskriminasi terhadap Ahmadiyah sudah diletakkan oleh negara Pakistan. Selanjutnya, golongan Taliban dan organisasi-organisasi militan muslim main hakim sendiri. Bom bunuh diri dan serangan terhadap muslim Ahmadi, oleh berbagai kelompok keras, hanya merupakan perpanjangan untuk mematikan prinsip negara hukum di Pakistan. Serangan terhadap Ahmadiyah adalah serangan terhadap prinsip negara-bangsa Pakistan. Semua warga Pakistan akan terpengaruh. Kaum Taliban meminta Pakistan menerima Islam versi mereka, dan siapa pun yang menolak tafsir Taliban sebaiknya siap-siap menghadapi diskriminasi, menyelamatkan diri, atau hidup dalam ketakutan.
Contoh yang mengejutkan dari Pakistan seyogianya menanamkan rasa takut dalam hati setiap warga Indonesia. Serangan bom bunuh diri yang terjadi pekan lalu terhadap masjid kepolisian di Cirebon, Jawa Barat, merupakan pendahuluan atas apa yang akan terjadi di masa depan, kecuali ekstremisme yang dipupuk oleh kefanatikan sebagian umat Islam di Indonesia dipikirkan ulang oleh masyarakat-masyarakat di Indonesia. Seperti halnya rekan-rekan Pakistan mereka, mereka yang mendukung ekstremisme di Indonesia akan berbalik kepada negara mereka sendiri dan pasukan keamanan.
Di Indonesia, seperti di Pakistan, warga Ahmadiyah adalah target gampang ketika masyarakat hidup dalam ketidakpastian hukum, agama, dan politik. Pada Juni 2008, ketika pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melarang kegiatan dakwah Ahmadiyah di muka umum, ancaman maksimal lima tahun penjara, Indonesia sebenar-benarnya mulai mengikuti jejak Pakistan. Lebih dari selusin provinsi, kota madya, dan kabupaten lantas mengeluarkan aturan yang lebih keras lagi dari keputusan Juni 2008.
Keputusan-keputusan di daerah tersebut, yang melarang aktivitas Ahmadiyah, akan meningkatkan intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan. Februari lalu, lebih dari 1.500 muslim militan membunuh tiga warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Saya takut Cikeusik bukan yang pertama. Ini akan berlanjut seperti yang terjadi di Lahore. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera membatalkan keputusan 2008 dan semua aturan di daerah. Beliau juga harus memastikan bahwa polisi bertindak cepat untuk melindungi Ahmadiyah dari kekerasan dan menahan para pelaku. Reputasi Indonesia sebagai masyarakat muslim yang toleran kini terancam berantakan.
Hari ini adalah kaum Ahmadiyah. Besok, seperti di Pakistan, bisa jadi Anda berikutnya.
(http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2011/05/05/Opini/krn.20110505.235038.id.html)
PENELITI SENIOR ASIA SELATAN UNTUK HUMAN RIGHTS WATCH, TINGGAL DI LAHORE
Bila ratusan orang Indonesia tewas dalam bom bunuh diri, siapa pun akan berharap politikus, partai politik, dan organisasi keagamaan mengutuk serangan tersebut tanpa peduli siapa korbannya. Tahun lalu terjadi serangan bom bunuh diri di Pakistan, namun tak seorang pun bersuara. Seorang politikus angkat suara, namun dia jadi cercaan berbagai pihak. Saya khawatir berbagai rangkaian kejadian yang menyebabkan Pakistan mengalami hal ini tampaknya sedang dan akan terjadi di Indonesia.
Pada 28 Mei 2010, kaum militan Islam menyerang dua masjid Ahmadiyah di kota Lahore, kota kelahiran saya, dengan senjata, granat, dan bom bunuh diri. Akibatnya, 94 orang meninggal dan lebih dari seratus orang luka berat. Kaum Taliban Punjab, kawan dari kaum Taliban Pakistan, Tehrik-e-Taliban Pakistan, mengaku bertanggung jawab. Kaum Taliban sebenarnya menargetkan bukan hanya kaum Ahmadiyah, tapi semua warga Pakistan--tak peduli apa pun agama atau golongannya. Tokoh oposisi Pakistan, Nawaz Sharif, mengutuk bom bunuh diri itu sebagai serangan terhadap "sesama saudara kita, warga Pakistan”.
Namun pernyataan Sharif disambut kemarahan partai politik Islam dan berbagai onderbouw Jamaat-e-Islami dan Khatm-e-Nabuwat--organisasi Islam internasional yang bertujuan "menjaga kepamungkasan Nabi Muhammad"--yang menganggap kaum Ahmadiyah sebagai sesat serta menyesatkan.
Kaum Ahmadiyah telah lama mengalami kriminalisasi di Pakistan. Apa yang terjadi di Pakistan harus dipelajari oleh orang Indonesia untuk memahami sifat dan tujuan pengganyangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Indonesia--secara verbal dan fisik. Nasib kaum muslim Ahmadiyah di Indonesia menunjukkan pola yang sama dengan di Pakistan: pengganyangan sistematis dan diskriminasi negara berdasarkan iman dan praktek keagamaan mereka. Selain itu, ada kaitan ideologis yang jelas dan spesifik antara organisasi anti-muslim Ahmadi di Pakistan dan di Indonesia.
Pada 1974, parlemen Pakistan bikin amendemen terhadap undang-undang dasar Pakistan di mana ada definisi atas apa yang disebut sebagai "Islam”. Amendemen ini membuat kaum Ahmadiyah secara legal jadi non-muslim. Amendemen ini mulai berlaku pada 6 September 1974.
Pada 1984, lima bagian dalam kitab hukum pidana Pakistan diubah, yang secara tersurat membuat kaum minoritas terpojokkan: ada ordonansi soal penistaan Islam; ordonansi pencemaran Al-Quran; larangan penghinaan terhadap istri, keluarga, atau kerabat Nabi; dan dua bagian khusus yang membatasi kegiatan muslim Ahmadi. Pada 26 April 1984, diktator Pakistan, Jenderal Zia ul-Haq, mengesahkan kedua bagian tersebut sebagai bagian dari Ordonansi Hukum Perang XX. Ordonansi XX ini melemahkan kegiatan agama minoritas secara umum, namun paling merugikan kaum muslim Ahmadi khususnya, dengan melarang mereka secara "langsung atau tidak langsung menyamar sebagai seorang muslim”.
Di Pakistan, kaum Ahmadiyah tidak bisa lagi menyatakan iman mereka, baik secara lisan maupun tertulis. Polisi Pakistan menghancurkan terjemahan dan tafsir muslim Ahmadi tentang al-Quran dan melarang publikasi muslim Ahmadi, penggunaan setiap istilah Islam di undangan pernikahan muslim Ahmadi, doa-doa di kuburan muslim Ahmadi maupun menorehkan kalimat syahadat --"Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah nabi Allah", sebuah prinsip utama dalam Islam--pada batu nisan pengikut muslim Ahmadi. Selain itu, Ordonansi XX melarang muslim Ahmadi menyatakan iman mereka secara terbuka, menyebarkan kepercayaan mereka, membangun masjid, atau melakukan azan. Singkatnya, hampir semua tindakan ibadah muslim Ahmadi dapat dijadikan tindak pidana.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Hukum Pidana tahun 1986, Parlemen Pakistan menambahkan Pasal 295-C pada kitab pidana. "Hukum Penistaan Agama", nama populer pasal tersebut, menghukum mati siapa pun orang yang dinilai menista agama Islam. Dengan Pasal 295-C, Zia dan pemerintah Pakistan melembagakan kriminalisasi terhadap muslim Ahmadiyah serta minoritas lain. Kepercayaan muslim Ahmadi dalam kenabian Mirza Ghulam Ahmad dianggap menghujat Allah dan "mencemarkan nama Nabi Muhammad”. Secara teoretis, muslim Ahmadi dapat dijatuhi hukuman mati hanya karena menjalankan keimanan mereka.
Akibatnya, banyak masjid Ahmadiyah dibakar, kuburan mereka dibongkar, dan keberadaan mereka dianggap kriminal. Sejak 1980-an, ratusan warga Ahmadiyah resmi didakwa melakukan tindak kriminal hanya karena menjalankan iman mereka. Beberapa warga Ahmadiyah didakwa penistaan agama Islam; beberapa orang dijatuhi hukuman seumur hidup atau mati, walau mereka masih menunggu banding. Tindak pidana ini termasuk pemakaian slogan Islam pada kemeja, rencana pembangunan masjid muslim Ahmadi di Lahore, dan menyebarkan literatur muslim Ahmadi di tempat umum. Akibatnya, ribuan warga Ahmadiyah meninggalkan Pakistan untuk mencari suaka di luar negeri.
Tidak mengherankan, prasangka anti-Ahmadiyah makin meluas di Pakistan. Landasan diskriminasi terhadap Ahmadiyah sudah diletakkan oleh negara Pakistan. Selanjutnya, golongan Taliban dan organisasi-organisasi militan muslim main hakim sendiri. Bom bunuh diri dan serangan terhadap muslim Ahmadi, oleh berbagai kelompok keras, hanya merupakan perpanjangan untuk mematikan prinsip negara hukum di Pakistan. Serangan terhadap Ahmadiyah adalah serangan terhadap prinsip negara-bangsa Pakistan. Semua warga Pakistan akan terpengaruh. Kaum Taliban meminta Pakistan menerima Islam versi mereka, dan siapa pun yang menolak tafsir Taliban sebaiknya siap-siap menghadapi diskriminasi, menyelamatkan diri, atau hidup dalam ketakutan.
Contoh yang mengejutkan dari Pakistan seyogianya menanamkan rasa takut dalam hati setiap warga Indonesia. Serangan bom bunuh diri yang terjadi pekan lalu terhadap masjid kepolisian di Cirebon, Jawa Barat, merupakan pendahuluan atas apa yang akan terjadi di masa depan, kecuali ekstremisme yang dipupuk oleh kefanatikan sebagian umat Islam di Indonesia dipikirkan ulang oleh masyarakat-masyarakat di Indonesia. Seperti halnya rekan-rekan Pakistan mereka, mereka yang mendukung ekstremisme di Indonesia akan berbalik kepada negara mereka sendiri dan pasukan keamanan.
Di Indonesia, seperti di Pakistan, warga Ahmadiyah adalah target gampang ketika masyarakat hidup dalam ketidakpastian hukum, agama, dan politik. Pada Juni 2008, ketika pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melarang kegiatan dakwah Ahmadiyah di muka umum, ancaman maksimal lima tahun penjara, Indonesia sebenar-benarnya mulai mengikuti jejak Pakistan. Lebih dari selusin provinsi, kota madya, dan kabupaten lantas mengeluarkan aturan yang lebih keras lagi dari keputusan Juni 2008.
Keputusan-keputusan di daerah tersebut, yang melarang aktivitas Ahmadiyah, akan meningkatkan intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan. Februari lalu, lebih dari 1.500 muslim militan membunuh tiga warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Saya takut Cikeusik bukan yang pertama. Ini akan berlanjut seperti yang terjadi di Lahore. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera membatalkan keputusan 2008 dan semua aturan di daerah. Beliau juga harus memastikan bahwa polisi bertindak cepat untuk melindungi Ahmadiyah dari kekerasan dan menahan para pelaku. Reputasi Indonesia sebagai masyarakat muslim yang toleran kini terancam berantakan.
Hari ini adalah kaum Ahmadiyah. Besok, seperti di Pakistan, bisa jadi Anda berikutnya.
(http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2011/05/05/Opini/krn.20110505.235038.id.html)