Kitab Suci Al-Quran telah banyak memberikan alasan-alasan yang konklusif guna mendukung kebenaran bahwa jiwa atau ruh adalah hasil ciptaan Tuhan. Beberapa di antaranya diuraikan di bawah ini sebagai ilustrasi.
Pertama: Jelas kiranya bahwa semua ruh setiap saat tunduk pada dan mematuhi firman Allah swt, sedangkan yang menjadi penyebab dari fitrat tunduk demikian adalah karena ruh merupakan ciptaan Tuhan.
Kedua: Jelas juga bahwa semua ruh memiliki keterbatasan dalam kemampuan dan kekuatan, sejalan dengan keanekaan kondisi dan kemampuan keruhanian umat manusia. Batasan ini ditetapkan oleh sang Pembatas, yang membuktikan kalau ruh itu adalah ciptaan.
Ketiga: Tidak diperlukan argumentasi guna menegakkan kebenaran pandangan bahwa semua ruh itu, demi kelanjutan dan kesempurnaannya, bergantung dan membutuhkan Wujud yang Maha Sempurna, Maha Mengetahui dan Maha Pengasih. Ini pun membuktikan jika ruh itu diciptakan.
Keempat: Renungan sekilas bisa menunjukkan kalau ruh kita secara ringkas merangkum segala kebijakan dan keterampilan ciptaan yang terlihat di benda-benda angkasa mau pun bumi. Karena itulah alam yang mengandung berbagai unsur disebut sebagai makrokosmos, sedangkan manusia disebut mikrokosmos. Bila alam ini karena segala sifatnya yang luar biasa dianggap sebagai hasil kerja dari sang Maha Pencipta yang Maha Bijaksana, betapa pula dengan ciptaan Tuhan yang karena memiliki segala keajaiban personal sebagai refleksi dari alam ini yang menggambarkan kebijakan yang maha luhur dari Allah swt Segala sesuatu yang menjadi manifestasi dari semua keajaiban fitrat-fitrat Ilahi dengan sendirinya tidak akan berada di luar lingkup ciptaan Tuhan. Sesungguhnya hal ini menjadi pertanda dari suatu ciptaan serta menjadi bukti eksistensi sang Maha Pencipta. Hal ini bukan semata bukti teoritis dari diciptakannya ruh, tetapi merupakan kebenaran cemerlang. Jika benda-benda lainnya tidak memiliki kesadaran sebagai suatu ciptaan, yang namanya ruh secara naluriah menyadari kalau ia itu diciptakan. Bahkan jiwa dari seorang liar (suku bangsa yang terbelakang) sekali pun tidak akan mengatakan dirinya mewujud dengan sendirinya. Hal ini diindikasikan dalam ayat:
"Aku bertanya kepada jiwa manusia: "Bukankah Aku Tuhan-mu?", Mereka berkata: "Ya benar, kami menjadi saksi atas hal ini." ( Al-Araf, 7 : 173).
Dialog Tuhan dengan hamba-Nya ini menggambarkan hubungan naluriah di antara sang Pencipta dengan mahluk ciptaan-Nya, dimana buktinya menjadi suatu hal yang inheren dalam naluri daripada jiwa.
Kelima: Sebagaimana seorang anak mengambil sifat dan karakter orang tuanya, begitu pula dengan jiwa yang berasal dari tangan Allah swt, juga menurun karakter dan sifat-sifat sang Pencipta. Meskipun dalam banyak hal dimana kegelapan dan keacuhan sebagai mahluk ciptaan menyelimuti beberapa jiwa dan warna Ilahi terlihat muram pada diri mereka, namun tidak bisa disangkal jika setiap ruh tetap saja masih memiliki rona tersebut meski hanya sedikit. Dalam beberapa kejadian, rona tersebut terlihat tidak menarik karena kelalaian, hal mana bukan karena kesalahan dalam warnanya tetapi kesalahan dalam penggunaannya. Sebenarnya tidak ada dari sifat dan kekuatan manusia yang bersifat jahat. Adalah kesalahan penggunaan yang menjadikan mereka terlihat jahat. Setiap fitrat yang dimanfaatkan secara patut akan menjadi kebaikan dan kemaslahatan karena sebenarnya semua fitrat manusia itu adalah refleksi dari kekuasaan Ilahi. Sebagaimana seorang putra menunjukkan beberapa ciri dari ayahnya, begitu juga jiwa merefleksikan sifat dan fitrat Ilahi yang mudah bisa dilihat oleh seseorang yang memiliki pemahaman. Sebagaimana seorang putra secara naluriah mencintai ayahnya, kita ini yang berasal dari Allah swt juga memiliki kecintaan naluriah kepada-Nya. Bila jiwa kita tidak mempunyai hubungan naluriah dengan Tuhan maka mereka yang mencari Wujud-Nya tidak akan mempunyai cara guna menggapai-Nya. (Surma Chasm Arya, Qadian, 1886)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar