Di antara keadaan-keadaan thabi’i manusia, salah satunya adalah sabar (ash-shabr), yang terpaksa manusia lakukan ketika menghadapi musibah-musibah, penyakit-penyakit, dan penderitaan-penderitaan yang senantiasa menimpanya. Dan manusia memilih bersabar setelah banyak meratap dan berkeluh-kesah. Tetapi ketahuilah, menurut Kitab Suci Ilahi kesabaran semacam itu tidak tergolong akhlak, melainkan suatu keadaan yang pasti akan tampil setelah mengalami keletihan. Yakni, di antarakeadaan-keadaan thabi’i manusia terdapat juga suatu keadaan, ketika datang musibah maka ia pertama-tama menangis, meraung-raung dan memukul-mukul kepala. Setelah semua emosi terluapkan akhirnya gejolak itu terkendali, dan pada puncaknya ia terpaksa mundur.
Jadi, kedua sikap ini merupakan keadaan-keadaan thabi’i. Sedikit pun tidak ada kaitannya dengan akhlak. Justru akhlak yang berkaitan dengan itu ialah, bila suatu benda terlepas dari tangan, maka dia tidak berkeluh-kesah seraya menganggap benda itu sebagai amanat Allah. Dan dia mengatakan, “Ini tadinya merupakan milik Tuhan, dan Tuhan telah mengambilnya. Kami rela terhadap kehendak-Nya.”
Berkenaan dengan akhlak ini, Alquran Suci, Kalam Suci Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita :
Yakni, hai orang-orang yang beriman ! Kami senantiasa akan menguji kamu. Kadang-kadang kepadamu akan didatangkan keadaan yang menakutkan dan kadang-kadang kamu akan mengalami kekurangan serta kelaparan, dan kadang-kadang kamu akan menderita kerugian harta dan kadang-kadang kamu akan mengalami kehilangan jiwa. Dan kadang-kadang kamu mengalami kegagalan dalam usaha-usahamu, dan upaya-upayamu tidak akan membawa hasil sebagaimana yang diinginkan. Dan kadang-kadang anak-anak kesayanganmu akan meninggal. Jadi, bagi mereka ada khabar suka. Apabila mereka tertimpa suatu musibah, mereka mengatakan, “Kami adalah kepunyaan Tuhan, amanat-Nya, dan milik-Nya.” Jadi, yang benar ialah, kembalikan segala sesuatu kepada Sang Pemilik amanat. Inilah orang-orang yang mendapat rahmat Ilahi dan inilah orang-orang yang telah menemukan jalan Tuhan (2 : 156 - 158).
Ringkasnya, nama akhlak ini adalah sabar dan rela terhadap keputusan Ilahi. Dalam pengertian lainnya, akhlak ini juga dinamakan adil. Sebab, apabila selama hayat masih dikandung badan manusia, tatkala Allah Ta’ala melakukan segala sesuatu di dalam seluruh kehidupan manusia sesuai dengan keinginannya, dan kemudian ribuan hal telah tampil sesuai kehendaknya, dan sekian banyak nikmat telah dianugerahkan kepada manusia yang selaras dengan keinginannya, maka sungguh tidak layak bagi manusia, jika Tuhan menghendaki kehendak-Nya agar ditaati, malahan berpaling dan merasa tidak senang terhadap kehendak-Nya, kemudian mengelak atau meninggalkan kepercayaaan dan menyimpang dari jalan-Nya’ {Filsafat Ajaran Islam, Masih Mau`ud, hal. 58-58, 1993}.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar