Senin, 04 April 2011

Nilai Sekularisme sebagai solusi permasalahan hubungan antara negara dengan agama

Intervensi Negara (pemerintah) melalui aparat-aparatnya dalam menghadapi perbedaan golongan agama saat ini menjadi bahan pembicaraan yang menarik, faktual dan aktual. Menarik terutama bagi pemeluk, pemerhati dan pecinta agama atau kepercayaan yang masih mainstream di negeri ini. Faktual, karena beberapa fakta menunjukkan hal demikian. Terlepas dari berbagai motif, latar belakang dan alasan pengintervensian tersebut, yang perlu kita bahas ialah bagaimana sebaiknya sikap dan perlakuan Negara terhadap warga negara dengan berbagai pemeluk agama dan kepercayaannya serta sebaliknya bagaimana sebaiknya warga Negara menyikapi pemerintahannya.[1]

Menarik bahwa saat ini pihak yang tertuduh dab terdakwa yang membuatnya juga mengalami penganiayaan, penekanan dan penindasan ialah Jamaah Muslim Ahmadiyah. Oleh karena itu, sebelum melangkah jauh, mari kita mengenal lebih dulu secara singkat apa itu komunitas Muslim Ahmadiyah.

I. Sekilas mengenai Jamaah Muslim Ahmadiyah
Komunitas (Jamaah) Muslim Ahmadiyah adalah gerakan kebangkitan Islam internasional yang dinamis dan tumbuh cepat. Didirikan pada tahun 1889, saat ini mencakup lebih dari 195 negara dengan keanggotaan melebihi puluhan juta. Markas besar saat ini adalah di Inggris.

Komunitas Muslim Ahmadiyah adalah satu-satunya organisasi Islam yang percaya bahwa Imam Mahdi dan/atau Isa al-Masih yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad saw akan datang pada suatu zaman (sering diistilahkan dengan zaman akhir) yang sudah lama ditunggu-tunggu telah datang dalam pribadi Mirza Ghulam Ahmad (as) (1835-1908) dari Qadian. Atas perintah dan panduan Ilahi, Ahmad (as) menyatakan diri sebagai metafora/persamaan kedatangan Yesus (as) dari Nazaret yang kedatangannya diramalkan oleh Nabi Islam, Nabi Muhammad saw.

Komunitas Muslim Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Allah telah mengutus Ahmad (as), seperti Yesus (as), untuk mengakhiri perang agama, mengutuk pertumpahan darah dan melembagakan moralitas, keadilan dan perdamaian. Kedatangan Ahmad telah membawa era kebangkitan Islam yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dia melepaskan Islam dari kepercayaan dan praktek fanatik keagamaan yang digantikannya dengan cara menjadi yang terdepan dalam membela ajaran Islam dengan cara mengemukakan argumentasi-argumentasi akan kebenaran dan esensi ajarannya. Dia juga mengakui ajaran mulia para pendiri agama besar dan orang-orang kudus, termasuk didalamnya Zoroaster (as), Ibrahim (Abraham) (as), Musa (as), Yesus/Isa al-Masih (as), Krishna (as), Buddha (as), Konfusius (as), Lao Tzu dan Guru Nanak, dan menjelaskan bagaimana ajaran tersebut menyatu ke dalam satu Islam yang benar (ajaran orang-orang mulia tersebut pada aslinya adalah benar).

Komunitas Muslim Ahmadiyah adalah organisasi Islam terkemuka yang bersifat menolak terorisme dalam bentuk apapun. Lebih dari satu abad yang lalu, Ahmad (as) dengan tegas menyatakan bahwa "jihad dengan pedang" agresif tidak memiliki tempat dalam Islam. Sebagai gantinya, dia mengajarkan para pengikutnya untuk perang tanpa berdarah, "jihad pena" intelektual untuk membela Islam. Untuk tujuan ini, Ahmad (as) menulis lebih dari 80 buku dan puluhan ribu surat, ratusan kuliah, dan terlibat dalam sejumlah debat publik. Pertahanan-pertahannnya yang akurat dan rasional tentang Islam mengubah pemikiran Muslim konvensional. Sebagai bagian dari upaya untuk menghidupkan kembali Islam, Komunitas Muslim Ahmadiyah terus menyebarluaskan nasihat-nasihat Ahmad agar berlaku moderat dan menahan diri dalam menghadapi pahit getir oposisi (penentangan) dari bagian dunia Muslim.

Demikian pula,  Komunitas Muslim Ahmadiyah adalah satu-satunya organisasi Islam yang mendukung pemisahan masjid/agama dan negara (sekuler). Lebih dari satu abad yang lalu, Ahmad (as) menasihatkan jamaahnya untuk melindungi kesucian agama dan dan juga kesucian negara dengan menjadi orang-orang yang bertakwa serta sebagai warga negara yang setia. Dia memperingatkan (bahaya) akan tafsir-tafsir yang irasional mengenai ayat-ayat Al-Quran dan aplikasi yang tidak tepat dalam hukum Islam. Dia terus-menerus menyuarakan agar ada perhatian dalam hal perlindungan hak-hak makhluk Allah. Hari ini, Komunitas Muslim Ahmadiyah terus menjadi pembela hak asasi manusia universal dan perlindungan bagi kaum minoritas agama dan lainnya. Ini maju dalam hal pemberdayaan dan pendidikan perempuan. Anggota-anggotanya ialah Muslim yang paling taat hukum, berpendidikan, dan aktif terlibat dalam berbagai aktivitas di seluruh dunia.

Komunitas Muslim Ahmadiyah adalah organisasi Islam terkemuka dengan pemimpin spiritual yang terpusat. Lebih dari satu abad yang lalu, Ahmad (as) mengingatkan pengikutnya tentang janji Tuhan yang akan menjaga pesan Islam melalui khilafat (lembaga spiritual penerus kenabian). Ia percaya bahwa khilafat spiritual hanya dapat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang sebenarnya dan persatuan kemanusiaan. Lima pemimpin rohani telah menggantikan/meneruskan Ahmad (as) setelah kewafatannya pada tahun 1908. Khalifah (Imam) Ketua spiritual  yang kelima, Mirza Masroor Ahmad, tinggal di Inggris. Di bawah kepemimpinan spiritual penerusnya, Komunitas Muslim Ahmadiyah sekarang telah membangun lebih dari 15.000 mesjid, lebih dari 500 sekolah, dan lebih dari 30 rumah sakit.

Komunitas Muslim Ahmadiyah juga telah menerjemahkan Qur'an ke lebih dari 60 bahasa dunia. Komunitas Muslim Ahmadiyah menyebarkan ajaran Islam yang sebenarnya, pesan perdamaian dan toleransi melalui saluran 24 jam satelit televisi (MTA), Internet (alislam.org) dan media cetak (Islam International Publications). Komunitas Muslim Ahmadiyah juga telah di garis depan dalam penanggulangan bencana di seluruh dunia melalui organisasi amal yang independen, Humanity First (Utamakan Kemanusiaan).[2]

II. Ahmadiyah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah suatu negara agama, yaitu suatu negara yang didasarkan kepada agama tertentu. Namun Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada Pancasila, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[3]

Bagaimana hubungan yang ingin diciptakan oleh Jamaah Ahmadiyah dengan NKRI? Pendapat Jamaah Ahmadiyah dalam hal ini, adalah sama dengan sikap yang sebaiknya dilakukan oleh seorang Muslim terhadap negara tempatnya tinggal, apa pun agama warga negara di situ, bagaimana pun macam pemerintahan di tempat itu. Kitab suci al-Quran menyebutkan perihal demikian. Kedua ayat dibawah ini adalah tepat mengingatkan peran para pemegang amanat agar menjunjung tinggi keadilan sedangkan para pemberi amanat yang dalam hal ini rakyat menyerahkannya (dengan mekanisme yang bisa dibuat atau disepakati lewat musyawarah dan lain sebagainya) kepada orang yang tepat.

Sesungguhnya, Allah swt. memerintahkan kamu supaya menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menghakimi di antara manusia hendaklah kamu memutuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah swt. menasihatimu sebaik-baiknya dengan cara itu. Sesungguhnya Allah swt. Maha Mendengar, Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah swt., dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu. Dan, jika kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah swt. dan Rasul-Nya, jika kamu memang beriman kepada Allah swt. dan Hari Kemudian. Hal demikian itu paling baik dan paling bagus akibatnya. (Q.S. An-Nisaa: 58-59)

Diantara pengertian adil yang dapat kita ambil ialah menyerahkan kepada warga apa-apa yang menjadi haknya. Hak-haknya tidak dirampas, dikurangi atau dibatasi sepanjang tidak ada hak-hak orang lain yang dikurangi. Dalam hal mengenai Ahmadiyah, walaupun ada tuduhan bahwa Ahmadiyah melanggar hak-hak umat Islam, selama ini tidak terdapat definisi dan data faktual yang jelas mengenai hak-hak umat Islam macam apa yang dilanggar atau dikurangi oleh Ahmadiyah. Memang ada beda penafsiran mengenai beberapa ayat namun kenyataannya tidak ada aksi dari Ahmadiyah menghalangi umat Islam lainnya meyakini dan memahami keyakinan mainstream tersebut.

Nilai adil juga mengandung pengertian perlakuan yang sama dan setara dari negara kepada semua pemeluk dan penganut agama atau kepercayaan. Artinya, pemerintah memandang agama-agama dan kepercayaan adalah sama dan setara derajatnya di mata negara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada pula yang lebih rendah. Perlakuan yang adil dan setara ini menjadi dasar ide sekulerisme dalam sebuah negara. Kebalikannya, ialah negara yang tidak adil baik mengatasnamakan agama ataupun isme-isme lainnya dimana sebagian agama atau suatu keyakinan mendapat perlakuan istimewa dibanding pemeluk agama atau penganut keyakinan lainnya sambil mengurangi, menekan bahkan menghalangi pelaksanaan hak-hak beragama pemeluk agama atau kepercayaan tersebut.

Pendiri Jama’at Ahmadiyah, menulis tafsir tentang ayat 59 dari surah an-Nisaa dengan jelas sekali, “Al-Qur’an Suci memerintahkan ‘Patuhlah kepada Allah dan patuhlah kepada Nabi-Nya dan orang-orang yang berkuasa di antara kalian’. Orang-orang yang beriman harus taat kepada yang berkuasa, selain kepada Tuhan dan Nabi-Nya. Mengatakan bahwa dalam orang-orang yang berkuasa tidak termasuk pemerintah bukan Islam, adalah suatu kesalahan besar. Karena suatu pemerintah – atau penguasa – yang peraturannya sesuai dengan syariat (yakni, peraturan-peraturan itu tidak tegas-tegas bertentangan dengan syariat) adalah penguasa-penguasa dari antara kalian. Orang-orang yang tidak menentang kita adalah dari antara kita. Jadi Al-Qur’an tegas tentang hal itu. Patuh kepada kekuasaan pemerintah adalah salah satu perintahnya. (Karya dan pidato, Jilid I, hal. 261)

Begitu pula dalam hadits. Rasulullah(S.A.W.) bersabda, “Ia yang patuh kepadaku patuh kepada Tuhan; ia yang membangkang kepadaku membangkang kepada Tuhan. Ia yang patuh kepada penguasanya patuh kepadaku; ia yang membangkang kepada penguasanya membangkang kepadaku.” (Muslim, Kitabul Imarah).

Dalam hadits ini seluruh kepatuhan diterangkan sejelas-jelasnya. Kesetiaan dan kepatuhan menurut hakikatnya teruntuk bagi Tuhan, Pencipta, Pemilik, dan Penguasa dari manusia dan bangsa-bangsa. Kekuasaan yang dipunyai lain-lainnya diambil dari kekuasaan Tuhan. Mereka itu hanya memantulkan Kekuasaan yang merupakan milik Tuhan. Seorang nabi adalah wakil dari Tuhan, seorang rasul yang membawa perintah-perintah Tuhan. Patuh kepada nabi adalah patuh kepada Tuhan. Demikian pula seorang yang mempunyai kekuasaan atas manusia, bertanggung jawab atas disiplin, atas ketertiban di antara para makhluk Tuhan; ia menjadi penjaga kehidupan, harta dan kehormatan mereka. Kepatuhan kepada orang semacam itu menyebabkan Tuhan senang. Dalam tingkat apa pun kepatuhan adalah satu dan sama saja dan itu ialah ketaatan kepada Tuhan. Benar sekali yang dikatakan Nabi Muhammad(S.A.W.), “Patuh kepadaku adalah patuh kepada Tuhan dan patuh kepada penguasa adalah patuh kepadaku.”

Mirza Bashir Ahmad, salah satu putra Mirza Ghulam Ahmad menulis, “..ungkapan Arab ‘ulil amri mingkum’ pemegang-pemegang kekuasaan dari antara kalian tak boleh menyesatkan orang kepada persangkaan bahwa kesetiaan kepada penguasa-penguasa hanya terbatas pada penguasa-penguasa Muslim. Tidak, sama sekali tidak. Ayat itu mengajarkan supaya patuh kepada siapa saja yang berkuasa. Dari antara kalian (Arabnya: minkum) juga berarti atas atau  dari atau dalam. Ayat ini mengajarkan kepatuhan dan disiplin dalam urusan-urusan umum. Ia menyatakan bahwa setia kepada yang sedang memegang kekuasaan adalah suatu kewajiban dalam Islam. Dalam ayat itu pemerintah dan yang diperintah dilukiskan sebagai satu golongan. Ayat itu menyiratkan bahwa suatu masyarakat atau kaum selamanya terdiri dari pemerintah dan yang diperintah. Yang diperintah harus taat kepada yang memerintah. Oleh karena itu salah sekali kalau diperselisihkan arti ayat itu, dan diberi makna bahwa pemegang-pemegang kekuasaan yang harus dipatuhi orang-orang Islam haruslah orang Islam.”[4]

Ada pun bila ada perbedaan pendapat antara pemerintah dan warga yang diperintahnya, al-Quran menyampaikan, “Kembalikanlah hal itu kepada Allah swt. swt. dan Rasul-Nya “ dapat ditujukan kepada sengketa antara rakyat itu sendiri. Jika ditujukan kepada keadaan yang pertama, maka maksudnya ialah, seandainya ada suatu perkara yang mengenainya timbul ketidaksepakatan antara penguasa-penguasa dan rakyat, maka hal itu hendaknya diputuskan menurut ajaran Alquran; dan jika Alquran diam mengenai hal itu, maka hendaknya menuruti sunah dan hadis. Akan tetapi, apabila Alquran, sunah, dan hadis diam mengenai masalah itu, hendaknya diserahkan kepada orang-orang yang diberi wewenang mengurusi perkara-perkara kaum Muslimin.

Sesuai pula dengan petunjuk kitab suci al-Quran, idealnya, setiap negara tidak memaksakan warganya agar memeluk atau tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu. Apalagi bila negara tersebut mayoritas mengaku beragama Islam. Bagaimana mungkin suatu agama mengaku dirinya universal atau global tanpa menimbulkan perselisihan? Suatu agama yang memiliki ajaran universal dan berambisi untuk mempersatukan seluruh umat manusia di bawah satu bendera tentunya tidak akan mempertimbangkan penggunaan kekerasan untuk menyebarkan pesan-pesannya.

Swords can win territories but not hearts,
forces can bend heads but not minds

Pedang bisa memenangkan negeri tetapi tidak mungkin hati.
Paksaan dapat menundukkan kepala tetapi tidak mungkin isinya.

Islam melarang pemeluknya (termasuk yang menjadi aparat bahkan petinggi Negara) penggunaan paksaan sebagai sarana penyebaran ajarannya.  Tidak diperkenankan suatu paksaan dalam agama. Sesunguhnya telah nyata bedanya kebenaran dari kesesatan ..... (S.2 Al-Baqarah : 256) Dengan demikian tidak perlu adanya paksaan dalam bentuk apa pun, baik memakai istilah penobatan, pembinaan dan sebagainya yang dalam prakteknya mengintimidasi korban atau korban merasa diintimidasi dengan sikap dan gaya orang tersebut. Tiap orang berhak menyatakan pendapat-pendapat mengenai keyakinannya dan mengajak secara persuasif agar orang lain sependapat dalam hal keyakinannya. Namun, ia tak berhak memaksakannya. Biarkanlah manusia untuk menentukan mana yang benar. Tuhan tegas mengingatkan Rasulullah s.a.w. untuk jangan sekali-kali mempertimbangkan penggunaan kekerasan guna merubah masyarakat.

Status Rasulullah s.a.w. sebagai pembaharu masyarakat ditegaskan dalam ayat berikut ini: Oleh sebab itu nasihatilah, karena engkau hanyalah seorang pemberi nasihat. Engkau tidak diangkat menjadi penjaga atas mereka. (S.88 Al-Ghasyiyah : 21-22)

Dengan thema yang sama, Nabi Muhammad s.a.w. diingatkan untuk:
Tetapi sekiranya mereka berpaling (tidak mau menerima pendapat atau keyakinan anda), maka Kami tidak mengutus engkau sebagai penjaga atas mereka. Kewajiban engkau hanya menyampaikan amanat. . . (S.42 Asy-Syura : 48)

Kita bergembira bahwa ajaran al-Quran diatas telah dikodifikasi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah menyatakan, antara lain, bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 Ayat 2).  Konstitusi juga menegaskan jaminan hak setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (Pasal 28E Ayat 1), bebas meyakini kepercayaan sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E Ayat 2), bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun (Pasal 28I Ayat 2), atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G Ayat 2). Konstitusi  juga menyatakan bahwa hak beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I Ayat 1).

Pasal-pasal diatas, dalam istilah Negara modern disebut mengadopsi nilai-nilai sekulerisme. Dan terbukti, tidak semua ide dan praktek sekulerisme itu bertentangan dengan ajaran Islam dan petunjuk al-Quran Suci.

Meskipun dalam proses penyebaran ajaran baru itu mungkin timbul pergulatan dan muncul reaksi yang keras, Islam tetap meminta para pengikutnya agar bersabar, bersiteguh dan sedapat mungkin menghindari konflik. Itulah sebabnya dimana pun jika seorang Muslim dilarang menyiarkan ajaran Islam kepada sekelilingnya, ada seperangkat aturan yang patut dipatuhinya. Dari sekian banyak ayat yang terkait dengan masalah tersebut, di bawah dikutipkan ayat :

Panggillah kepada jalan Tuhan engkau dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik, dan hendaknya bertukar pikiran dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau lebih mengetahui siapa yang telah sesat dari jalan-Nya dan Dia mengetahui pula siapa yang telah mendapat petunjuk. (S.16 An-Nahl : 125)
Tolaklah kejahatan dengan apa yang sebaik-baiknya. Kami lebih mengetahui apa yang mereka tuduhkan sebagai sifat-Nya. (S.23 Al-Muminun : 95) Disini kata Ahsan bermakna suatu yang terbaik, paling menarik dan sesuatu yang indah.

Sebagaimana disebutkan sekilas di atas, Jemaat Ahmadiyah sama sekali tidak berpolitik (berkegiatan guna meraih kekuasaan dalam negara), ini ditegaskan oleh pendiri Jemaat Ahmadiyah sendiri, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., bahwa “ … aku adalah orang agama, bukan orang politik …”[5] Fungsi mendasar Jemaat Ahmadiyah adalah memelihara kesejahteraan rohani, akhlak, sosial dan pendidikan masyarakat.[6] Dengan demikian Jemaat Ahmadiyah sama sekali tidak memiliki niat ataupun maksud untuk meraih kekuasaan atau terjun ke politik. Hal ini ditegaskan dalam pidato Khalifah Ahmadiyah ke-2, Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (1889-1965) sebagai berikut:  
                                 
Gerakan semacam ini (Ahmadiyah-pen.) selamanya mulai dari kecil tetapi akan tiba saatnya bila ia memperoieh kekuatan dengan cepat. Dalam waktu yang tidak lama ia akan berhasil dalam usahanya menanam bibit persatuan dan persemakmuran. Hal ini nyata, bahwa untuk kekuatan politik diperlukan partai-politik dan untuk kekuatan agama dan akhlak diperlukan Jema'at yang bercorak keagamaan dan akhlak. Atas dasar inilah Jema'at Ahmadiyah mengisolir dirinya dari urusan politik, karena apabila ia mencampuri urusan ini, maka ia akan menjadi lalai dalam melaksanakan urusannya sendiriAhmadiyah tidak mempunyai tujuan-tujuan politik. Ahmadiyah dilahirkan dengan tujuan hendak memperbaiki kehidupan agama dari pada orang-orang Islam serta mengkonsolidir  mereka  sehingga  mereka  bersatu-padu  untuk dapat mengkonfrontir penentang-penentang Islam dengan senjata-senjata akhlak dan kerohanian. … Di dalam Jema'at ini tergabung sedikit atau banyak orang penganut dari berbagai aliran politik.[7] Jemaat Ahmadiyah sendiri dengan tegas memisahkan antara agama dengan negara.[8]

Walaupun setiap Muslim Ahmadi sebagai pribadi warga negara, dalam kapasitas pribadinya, mempunyai hak untuk ikut serta dalam arena politik setempat (lokal) atau mempunyai hubungan dengan partai tertentu akan tetapi Jemaat Ahmadiyah secara kolektif tak mempunyai minat dalam politik suatu Negara. Dalam tema yang sama, Khalifah Ahmadiyah yang sekarang, Mirza Masroor Ahmad menekankan pula: “Merupakan kepercayaan yang bodoh dari orang-orang yang terdorong oleh minat-minat kebendaan (duniawi) bahwa karena Jemaat Muslim Ahmadiyah merupakan jamaah yang teratur dan tersusun dengan baik [maka] boleh jadi pada suatu hari ia berupaya untuk menyingkirkan pemerintah. Kita tidak mempunyai minat dalam upaya untuk memasuki politik Pakistan ataupun dalam hal politik dari suatu negeri lain. Jemaat Muslim Ahmadiyah dan lembaga Khilafatnya secara mutlak tak mempunyai minat atau keinginan untuk menyingkirkan suatu pemerintahan. Itu bukan menjadi tujuan kita.”[9]

Merujuk pada misi Jemaat Ahmadiyah tersebut, maka dasar negara Republik Indonesia Pancasila mengandung nilai-nilai yang sangat mulia dan Jemaat Ahmadiyah sangat mendukung hal tersebut. Nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan merupakan nilai-nilai mulia yang juga diperjuangkan Jemaat Ahmadiyah dalam tataran pendidikan moral kepada umat manusia. Demikian juga norma-norma yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya norma-norma Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 – yang pada dasarnya juga dikenal dalam Agama Islam – merupakan norma-norma yang hendaknya dihayati dan diamalkan oleh segenap warga negara Indonesia, termasuk anggota Jemaat Ahmadiyah.

III. TNI Menegakkan Kedaulatan Negara

Tugas pokok Tentara Nasional Indonesia adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.[10]

Dalam menjalankan tugasnya, setiap prajurit TNI selalu menjunjung tinggi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945 – yang merupakan konstitusi Negara Republik Indonesia –, hal mana ditegaskan dalam Sapta Marga, di mana dinyatakan secara tegas :

“ … Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila …”[11] dan juga dalam Sumpah Prajurit ;
… Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 …”[12]

Dengan demikian, TNI merupakan alat negara yang selalu menjunjung tinggi Pancasila dan UUD NKRI Tahun 1945.

Dalam perjalanan sejarahnya, TNI selalu berusaha sekuat tenaga menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasilan dan UUD NRI Tahun 1945. Ketika terjadi upaya mengubah dasar negara Pancasila dan Konstitusi UUD NRI Tahun 1945, seperti upaya mendirikan Negara Islam Indonesia tanggal 7 Agustus 1949[13], maka TNI segera melakukan upaya menegakkan kembali kedaulatan RI berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang telah digariskan dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI merupakan tentara nasional yang bertugas demi kepentingan negara di atas kepentingan daerah, suku, ras dan golongan agama.[14] Ini menunjukkan bahwa TNI berdiri di atas semua golongan dan memiliki kewajiban untuk selalu baik, bersikap ramah dan sopan santun kepada rakyat, serta tidak sekali-kali merugikan, menakuti dan menyakiti hati rakyat.[15] Antara lain, norma-norma inilah yang menjadi tuntunan TNI dalam menjalankan tugasnya.

Pada akhirnya Jemaat Ahmadiyah selalu berharap dan meyakini bahwa TNI merupakan bhayangkari negara dan bangsa, akan selalu menjunjung tinggi Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 dengan selalu berpedoman kepada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

Wa akhiru da’waana anil hamdu lillaahi robbil ‘aalamiin 


[1] Disampaikan dalam acara dialog publik dengan tema Intervensi Aparatur Negara Dalam Kebebasan Beragama: “Pro-Kontra Penyelesaian Konflik Ahmadiyah Dengan Operasi Sajadah”, Rabu, 30-03-2011, pukul 14.00-16.00 di Theater Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syahid Jakarta yang diselenggarakan oleh FOSMASEMATA (Forum Mahasiswa dan Pemuda Semarang di Jakarta.
[2] http://www.alislam.org/introduction/index.html, diakses pada 27 Maret 2011
[3] Indonesia (b), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan
[4] http://www.alislam.org/jihad/loyality.html, diakses pada 30 Maret 2011
[5] Iain Adamson, Ahmad The Guided One. (Surrey : Islamic International Publication Ltd, s.a.), hal. 315
[6] Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Ahmadiyya or True Islam, (Rabwah : Tahrik Jadid Anjuman Ahmadiyya, 1959), hal. 179
[7] Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, ‘Apakah Ahmadiyah itu?’ terbitan Jemaat Ahmadiyah Indonesia
[8] Ahmadiyya Muslim Community – An Overview, http://www.alislam.org/introduction/index.html , diakses tanggal 29 Maret 2011
[9] http://www.alislam.org/egazette/press-release/ahmadiyya-muslim-jamaat-has-no-interest-in-seeking-government/
[10] Indonesia (a), Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No. 34 LN No. 127 tahun 2004, TLN No. 4439, Pasal 7 ayat (1)
[11] Sapta Marga, http://www.tni.mil.id/index2.php?page=saptamarga.html, diakses tanggal 29 Maret 2011
[12] Sumpah Prajurit, http://www.tni.mil.id/index2.php?page=sumpah.html , diakses tanggal 29 Maret 2011
[13] Sekretariat Negara Republik Indonesia, 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949, cetakan kelima, (Jakarta : PT. Tira Pustaka, 1981), hal. 233
[14] Indonesia (a), loc. cit., Pasal 2 huruf c
[15] Delapan Wajib TNI, http://www.tni.mil.id/index2.php?page=wajib.html, diakses tanggal 29 Maret 2011