Kamis, 07 April 2011

Khutbah Jum'ah : Ta'at Kepada Pemerintah Negara


اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
 نَحْمَدُهُ وَنُصَلِّى عَلَى رَسُوْلِهِ الْكَرِيْمِ  وَعَلَى عَبْدِهِ اْلمَسِيْحِ اْلمَوْعُوْدِ

KHUTBAH JUM’AH
HAZRAT AMIRUL MU’MININ KHALIFATUL MASIH V atba.
Tanggal  1 April  2011  dari Baitul Futuh London UK
TENTANG : TA’AT  KEPADA  PEMERINTAH



Setelah membaca tasyahud dan menilawatkan surah Al Fatihah Huzur atba bersabda : 

Beberapa jum’ah sebelum ini didalam Khutbah Jum’ah terkahir bulan Februari 2011 saya telah mengingatkan para anggauta Jema’at terhadap kewajiban mereka untuk banyak memanjatkan do’a bagi situasi sekarang yang tengah dihadapi umat Islam diseluruh dunia. Saya katakan bahwa kita tidak memiliki sarana duniawi yang cukup, tidak memiliki kekuatan materi yang relevan untuk menyampaikan seruan kita kepada para Pemimpin Negara-negara orang Islam didunia, agar mereka menunaikan kewajiban yang betul sebagai pemegang amanah didalam memimpin bangsa dan Negara mereka. Dibeberapa tempat mungkin saja melalui suatu perantara, suara kita dapat sampai kepada mereka, akan tetapi apakah diterima dengan jelas atau tidak pesan kita itu, kita tidak tahu. Bagaimanapun, kita sebagai orang-orang Ahmady yang sangat yakin terhadap pengaruh atau khasiat do’a, kita harus menaruh perhatian secara khas untuk memanjatkan do’a bagi mereka itu. Kita do’akan semoga Allah swt memberi aqal yang lurus terhadap para pemimpin Muslim, agar Negara-negara mereka itu terpelihara dari berbagai macam kekalahan. Begitu juga amanat perlu disampaikan kepada masyarakat awam disana agar mereka memahami betul kewajiban-kewajiban mereka, jangan sampai mereka menjadi mangsa para pemberontak yang timbul dari dalam maupun pendatang yang menyusup dari luar. Bagaimanapun, saya ingin menyampaikan lagi amanat kepada para Ahmady yang tinggal dinegeri ini, sebelum ini juga saya telah memberi pesan kepada mereka, agar mereka menaruh perhatian khas untuk memanjatkan do’a sebanyak-banyaknya. 

Sejauh mana dapat dianjurkan, anjurkanlah sebaik-baiknya kepada kedua belah pehak, baik penguasa maupun rakyat bahwa, tindak kekerasan tidak dapat memecahkan sesuatu masalah. Dan senjata yang paling besar adalah do’a. Sebagian besar orang-orang Ahmady faham kepada amanat ini dan dengan karunia Allah swt orang-orang Ahmady tidak turut ambil bagian didalam segala bentuk protest ataupun demonstrasi, baik didalam kerusuhan maupun didalam perbuatan serang-menyerang satau sama lain, tidak turut ambil bahagian, akan tetapi ada juga anggauta Jema’at yang fikiran-nya dihantui oleh pertanyaan katanya: Sampai batas mana kita harus bersabar menghadapi penguasa Pemerintah yang kejam dan zalim dan bagaimana menentang siasat pemerintahannya? Reaksi apa yang dapat dilakukan? Seperti yang terjadi dinegara-negara Africa, misalnya yang sedang terjadi dinegara Ivory Coast. Sampai batas mana orang-orang Ahmady disana boleh bekerja sama dengan masyarakat awam yang memberontak menentang pemerintah? Sebab orang-orang terpelajar juga disana tidak faham betul terhadap intisari amanat dari saya. Mereka selalu bertanya-tanya tentang itu, dan meminta jawaban yang pasti, bagaimana bolehkah kami turut ambil bagian atau tidak dalam kelompok masyarakat awam yang menuntut hak-hak mereka secara paksa atau sampai batas mana kami harus bertahan dalam kesabaran? 
 
Sehubungan dengan itu, saya bersama orang-orang dari negera-negara Arab atau orang-orang Africa yang bercakap Bahasa Arab melalui Arabic Desk telah mengadakan pertemuan dan telah saya jelaskan secara rinci kepada Saudara Haani Tahir bahwa, dalam suasana seperti itu bagaimana reaksi dan prilaku yang harus ditunjukkan oleh seorang Ahmady. Kebaikan dan keburukan apa yang bisa terjadi dari kedua segi itu, kita harus memikirkannya dengan baik-baik. Saya katakan bahwa amanat itu harus disampaikan secara tertulis kepada negara bersangkutan atau kepada orang-orang yang selalu ada kontak dengan mereka agar para Ahmady disana dapat mengantisipasi dengan baik posisi dan situasi yang sekarang sedang berlaku disana. Akan tetapi dari banyak surat-surat dan dari beberapa su’alan (pertanyaan) yang diterima, nampaknya banyak orang-orang Jema’at disana tidak faham dengan jelas terhadap pendirian Jema’at Ahmadiyah yang berasaskan kepada Alqur’an dan Hadis-hadis Rasulullah saw serta sabda-sabda Hazrat Imam Mahdi, Masih Mau’ud a.s. sebagai dasar hukum. Oleh sebab itu diperlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk itu saya telah mengumpulkan beberapa artikel sebagai pegangan, yang akan saya kemukakan dihadapan anda semua, agar setiap jenis keraguan dapat dijauhkan. 

Asas paling utama adalah Kitab Suci Alqur’an. Bagaimana perintah Tuhan didalamnya tentang kerjasama dan itha’at. Dan bagaimana reaksi yang harus dilakukan oleh seorang mukmin diwaktu terjadi kerusuhan. Sampai batas mana ia boleh menuntut haknya dalam menentang Pemerintah. Tentang itu apa bunyi nasihat hadis Rasulullah saw dan bagaimana nasihat Hazrat Imam Mahdi, Masih Mau’ud a.s. Didalam Alqur’anul Karim Allah swt berfirman :  
 
Wa yanhaa ‘anil fahsyaai wal munkari wal baghy (Ayat ini kita baca setiap hari Jum’ah pada khutbah kedua), Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan dan memberi kepada kaum kerabat; dan melarang dari setiap perbuatan keji, dan hal yang tidak disenangi dan memberontak. Dia memberi kamu nasihat supaya kamu mengambil pelajaran (An Nahl: 91). 

Tentang ma’na perkataan baghy Hazrat Imam Mahdi, Masih Mau’ud a.s. bersabda : ” Baghiya artinya hujan yang sangat lebat, melampaui batas dan merusak tanaman disawah-sawah. Kurang memenuhi hak kewajiban juga dikatakan baghy atau melebihi batas dalam menunaikan kewajiban. Itulah ajaran yang indah dari hukum-hukum Alqur’anul Karim, yang berlaku sebagai undang-undang bagi semua pihak dan semua tingkatan manusia. Undang-undang ini tidak dapat dikira hanya berlaku bagi satu pihak dan tidak berlaku bagi pihak lain.”
 
Saya tidak akan sempat menjelaskan ayat ini secara keseluruhan, namun saya ingin menjelaskan yang berkaitan dengan perkataan baghy, sebagaimana Hazrat Masih Mau’ud a.s. telah menjelaskannya artinya yaitu : orang yang kurang memenuhi kewajiban dan orang yang melebihi batas dalam menunaikan kewajiban. Allah swt melarang perbuatan kedua-duanya. Yakni apabila seorang Hakim memberi perintah kepada rakyat maka kepada kedua belah pihak diperintahkan untuk menunaikan kewajiban mereka. Si Hakim tidak boleh menunaikan kewajibannya mengurangi atau melampaui batas dan tidak boleh pula rakyat mengurangi atau melebihi batas dalam menunaikan kewajiban mereka. Siapa saja diantara mereka tidak berbuat demikian, maka dapat dianggap telah melanggar undang-undang Allah swt. Dan orang yang melanggar undang-undang Allah swt dia akan menerima hukuman dari pada-Nya, sebab Allah swt sangat tidak senang terhadap pelanggar undang-undang-Nya. 

Jadi, pada masa ini, rakyat sedang mengambil langkah dengan kekerasan dan emosional yang meluap-luap untuk menentang pemerintah, oleh sebab itu saya akan memberi penjelasan mengenai hak dan kewajiban rakyat. Sehubungan dengan ini banyak sekali terdapat hadis-hadis Rasulullah saw yang menjelaskan bahwa sekalipun dalam prilaku para pemimpin terdapat kesalahan, namun Rakyat, orang-orang mukmin diperintah untuk berlaku sabar. Sebuah hadis riwayat Bukhari baabul fitan mengatakan bahwa, Rasulullah saw bersabda kepada para Ansar :” Setelah aku tiada kalian akan menyaksikan perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan kalian.” Dan Abdullah Bin Zaid Bin Amir r.a. berkata : Rasulullah saw telah bersabda kepada orang-orang Ansar dan beliaupun bersabda: Kalian bersabarlah sampai berjumpa dengan aku di lembah Kautsar. Zaid Bin Wahab berkata katanya, saya dengar dari  Abdullah Bin Masood, katanya Hazrat Rasulullah saw bersabda kepada kami: ”Setelah aku pergi kalian akan menyaksikan orang-orang yang membalas dendam kepada kamu dan mereka menganjurkan kepada yang lain juga untuk berbuat demikian. Dan lagi kalian akan menyaksikan perkara-perkara yang akan kalian anggap sangat buruk sekali.” Mendengar sabda beliau itu para sahabah bertanya : ” Ya Rasulullah !! Disa’at demikian apa perintah Huzur kepada kami ?” Beliau saw bersabda : ” Tunaikanlah kewajiban kalian terhadap Pemimpin kalian pada waktu itu, dan mintalah hak kalian sendiri kepada Allah swt !!” Didalam sebuah hadis lain lagi diriwayatkan oleh Hazrat Ibnu Abbas r.a. dari Rasulullah saw, katanya Rasulullah saw bersabda: ” Orang yang tidak menyukai sesuatu perbuatan Pemimpin-nya ia harus bersabar, sebab orang yang menjauhkan diri dari Pemimpin-nya satu jengkal saja, kemudian jika ia mati maka mati-nya itu mati jahiliyyah.” Seorang datang kepada Rasulullah saw dan berkata : ” Ya Rasulallah! Seseorang telah engkau jadikan Hakim (Pemimpin) sedangkan saya sendiri tidak diberi kedudukan apa-apa.” Rasulullah saw bersabda : ” Setelah aku tiada kamu akan menyaksikan suatu keadaan bahwa, orang lain akan diutamakan dan kamu tidak akan diperhatikan orang. Maka sabarlah kamu sampai kamu berjumpa dengan aku dihari qiamat nanti.” Didalam sebuah riwayat lagi dikatakan bahwa, Salma, yakni Yazid Alyafi berkata kepada Rasulullah saw : ” Ya Rasulallah ! Jika seorang Pemimpin yang berkuasa berlaku tidak adil diatas kami, apa yang harus kami lakukan ? Rasulallah saw tidak menjawabnya. Lalu ia mengulangi pertanyaannya, kemudian Rasulullah saw pun berpaling tidak menjawabnya. Untuk ketiga kalinya ia mengulangi pertanyaannya itu, dan nampak Rasulullah saw tidak suka terhadap pertanyaan-nya itu. Barulah Rasulullah saw menjawab-nya : ”Dalam keadaan demikian, dengarlah perintah Pemimpin Pemerintah kamu dan ta’atlah kepadanya! Kewajiban yang diletakkan diatas pundak-nya akan dituntut pertanggungan jwabnya dari padanya. Sedangkan kewajiban yang diletakkan diatas pundak kalian, pertanggungan jwabnya akan dituntut dari kalian. Seorang sahabah meriwayatkan katanya, pada suatu hari kami dipanggil oleh Rasulullah saw dan kami bai’at ditangan beliau saw. Dalam bai’at itu kami menyatakan dengan sesungguhnya dalam setiap keadaan bagaimana-pun, sukacita atau dukacita, keadaan sempit ataupun dalam keadaan lapang, akan memenuhi semua perjanjian tersebut.” Beliau saw juga bersabda : ” Siapapun yang menjadi Penguasa pemerintahan, kita tidak boleh bertengkar dengan-nya. Kecuali jika kalian betul-betul menyaksikan-nya secara terbuka bahwa dia sudah menjadi kafir, maka kalian mempunyai dalil dari Tuhan untuk menentang-nya. Dalam hadis-hadis ini, apabila nampak para Pemimpin atau para pemegang kekuasaan yang berlaku tidak jujur dan menunjukkan pelanggaran hukum-hukum syari’at, bagaimanapun tidak ada hak bagi kalian untuk mengadakan pemberontakan menentang mereka. Mengadakan protes anti pemerintah, merusak harta milik negara, melakukan pemberontakan melawan pemerintah, semua melanggar syari’at Islam. Saya hendak menjelaskan hadis terakhir lebih jauh lagi bahwa perkataan terakhir dalam hadis itu dalam Bahasa Arab yang artinya : Hazrat Rasulullah saw juga telah mengambil pernyataan dari kami bahwa siapa yang telah terpilih menjadi Penguasa, kami tidak akan bertengkar dengannya, kecuali jika ia secara terang-terangan menyatakan kufur dihadapan kalian. Untuk itu kalian mempunyai dalil atau bukti dari Allah swt.  

Perkataan akhir didalam hadis tersebut yakni memberontak melawan Pemerintah, adalah bertentangan dengan syari’at Islam. Menurut pendirian Wahabi dan golongan-golongan garis keras lainnya dalam Islam mengatakan bahwa apabila sudah nampak bukti dengan jelas kekufuran seorang Pemimpin maka kedudukannya sebagai pemimpin wajib dirampas dengan kekerasan. Itulah golongan garis keras yang berdasarkan bunyi hadis tersebut mengambil kesimpulan bahwa mereka boleh mengadakan pemberontakan melawan pemerintahan. Untuk memperkuat fatwa yang mereka buat, ditegaskan bahwa barangsiapa yang tidak menganggap kaffir terhadap orang yang telah dinyatakan kffir oleh mereka maka dia juga termasuk orang kaffir. Dan orang yang tidak menganggap kaffir terhadap orang kaffir juga dia disebut kaffir. Perkara fatwa takfir ini terus berjalan untuk jangka waktu yang panjang. Bagaimanapun kata-kata didalam hadis itu disebutkan bahwa kewajiban kalian adalah itha’at bukan mengisyarahkan kepada pemberontakan. 

Demikianlah pandangan mereka, bukan pandangan orang-orang Ahmady. Memang, alasan tidak melakukan itha’at disebabkan terjadi pemaksaan nampak sebuah contoh didalam Jema’at. Misalnya di Pakistan atau dibeberapa negara lain lagi, orang-orang Ahmadi dilarang menyatakan diri sebagai orang Muslim. Kita orang-orang Ahmady tidak bersedia menta’atinya, sebab kita adalah orang-orang Muslim. Atau dilarang membaca dua kalimah syahadah, kami tidak menta’atinya, kami tetap membaca kalimah syahadah. Atau dilarang mengucapkan salam kepada siapapun, atau dilarang membaca Alqur’an. Semua perkara itu bersangkutan dengan iman kita. Mengenai larangan-larangan ini, tidak perlu kita mentha’atinya. Akan tetapi disini kita tidak melakukan pemberontakan, kita tidak dapat menta’atinya sebab hal itu semua berkaitan dengan syariát, perkara yang bersangkutan dengan Allah swt dan Rasul-Nya. Sejauh mana hubungannya dengan undang-undang lainnya, sekalipun demikian setiap orang Ahmady tetap menta’ati setiap jenis undang-undang. Dalam menunjang hal itu seorang Imam senior bernama Imam An Nawawi telah menulis bahwa saksi kuffur adalah menzahirkan kuffur itu sendiri, dan didalam hadis ini yang dimaksud dengan kuffur adalah dosa. Dan maksud dari pada hadis itu adalah selama kalian tinggal diwilayah pemerintahan Penguasa itu kalian jangan melakukan pertengkaran dengan-nya, dan jangan pula kalian mengajukan keberatan atau kritikan kepadanya. Kecuali jika kalian melihat dia terlibat dalam suatu keburukan yang sabit atau nyata dan dapat dibuktikan sesuai dengan akidah Islam yakni sesuai dengan Qur’an dan Hadis. Jika kalian betul sudah melihatnya maka anggaplah itu buruk dan dimanapun kalian berada atau dalam posisi apapun kalian berada harus berkata benar. Akan tetapi bertengkar atau mengadakan pemberontakan dan perlawanan terhadap Penguasa seperti itu berdasarkan ijma orang-orang Muslim adalah haram, sekalipun Penguasa itu fasiq atau zalim. Dikatakannya bahwa, Hadis yang telah saya uraikan ini didukung oleh hadis hadis lainnya. Para Ahli sunnah waljama’ah telah menyatakan ijma (sepakat) bahwa disebabkan alasan fasik menjatuhkan Penguasa tidak dibenarkan. Para ulama berkata bahwa, dilarangnya menjatuhkan atau menggulingkan Pemimpin yang fasiq dan zalim adalah akan menimbulkan lebih banyak kerusuhan, kekacauan dan pertumpahan darah dan akan menimbulkan perang antar sesama mereka. Maka memberi kesempatan tetap tinggal berkuasa terhadap Pemimpin fasiq dan zalim lebih sedikit menimbulkan resiko kerusuhan dibanding dengan akibat yang akan timbul setelah penggulingan terhadap Pemimpin itu. Sekarang kita sedang menyaksikan keadaan seperti itu, terjadi peperangan dari kedua belah pihak, terjadi letupan-letupan senjata dan akibatnya banyak jiwa melayang, orang-orang Muslim sedang saling bunuh dengan orang-muslim sendiri. 

Dari sebuah hadis Bukhari terdapat riwayat bahwa Hazrat Rasulullah saw bersabda : ” Perumpamaan orang-orang yang malas dalam melaksanakan hukum-hukum Allah sawt dan orang-orang yang melanggar hukum-hukum Allah swt seperti sebuah kaum yang mengadakan undian diwaktu naik kapal, yang hasilnya beberapa orang duduk dibagian atas kapal itu dan beberapa orang kebagian duduk dibagian bawah dek kapal itu. Apabila orang-orang yang duduk dibagian bawah dek kapal itu mengambil air kebagian atas dek kapal itu mereka merasa terganggu. Salah seorang yang duduk dibagian bawah dek kapal itu mengambil sebuah kapak dan dia hendak melubangi bagian bawah kapal itu dan orang-orang yang duduk diatas dek datang menghampirinya sambil bertanya kepadanya : Apa yang akan kau lakukan ini? Dia jawab : Apabila saya hendak mengambil air dari atas dek kamu merasa terganggu oleh saya sedangkan saya tidak bisa tinggal disini tanpa air. Maka jika orang-orang diatas dek dapat menahan atau menangkap orang yang hendak melubangi kapal itu tentu semua penumpang kapal itu akan selamat dari bahaya tenggelam. Dan dia sendiri juga akan selamat dari bahaya tenggelam. Dan jika orang itu dibiarkan dan diberi kesempatan untuk melubangi kapal itu, tentu akan membinasakan semua penumpang kapal itu disamping dia sendiri akan binasa. Dari hadis ini banyak orang-orang mengambil dalil bahwa jika masyarakat awam dilarang secara paksa dari perbuatan buruk, hal itu tidak dapat dibenarkan, sebab akibatnya akan terjadi pertengkaran dan kerusuhan dengan mereka. Jika dari permisalan dimaksudkan mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah, maka akan bertentangan dengan nasihat Hazrat Rasulullah saw. Dalam hadis itu dikatakan :  jika orang-orang diatas dek dapat menahan atau menangkap orang yang hendak melubangi kapal itu tentu semua penumpang kapal itu akan selamat dari bahaya tenggelam. Dan dia sendiri juga akan selamat dari bahaya tenggelam. Jika dibiarkan maka semua akan binasa dan dia sendiri juga akan binasa. Jadi jika ada orang yang hendak berbuat kerusuhan atau pemberontakan dipaksa dan dihadang untuk tidak berbuat keburukan yang sangat membahayakan itu adalah diperbolehkan, jika memang betul membahayakan. Akan tetapi hal itu bertentangan dengan hadis-hadis yang lainnya. Hal demikian tidak terdapat didalam suatu pemerintahan. Untuk mendukung perkara itu sebuah hadis Rasulullah saw dikemukakan dan daripadanya diambil pengertian bahwa Rasulullah saw telah memberi perintah untuk berlaku tegas dan keras. Rasulullah saw tidak dapat memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Alqur’anul Karim. Pasti orang-orang telah berbuat keliru dalam memahami hadis beliau itu. Telah diriwayatkan oleh Saeed Alkhudri r.a. katanya, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda : ” Jika kalian melihat suatu pekerjaan munkar (yang tidak disukai), hendaknya ia mencegahnya melalui tangan-nya. Jika dia tidak berani berbuat demikian maka ia harus mencegahnya melalui nasihat kepadanya, jika untuk itu-pun ia tidak mempunyai kekuatan atau keberanian, ia harus melakukannya melalui hatinya (yakni dengan mendo’akannya). Itulah sebagai tanda iman yang paling lemah.” Imam Mullah ’Ali Qory telah menulis yang terjemahnya sebagai berikut : ” Banyak para ulama kita berkata ; ”Perintah untuk mencegah pekerjaan yang tidak disukai melalui tangan, ditujukan bagi para Pemimpin bangsa. Mencegahnya melalui lisan atau nasihat, ditujukan bagi para ulama dan mencegah pekerjaan yang tidak disukai itu melalui hati, adalah ditujukan bagi para Muslimin awam.” Jadi, itulah penjelasan yang sangat indah sekali mengenai hadis tersebut. Tiga perkara itu memang bagi tiga tingkatan manusia dan tiga tingkatan orang yang  memiliki ikhtiar (orang yang berkuasa).  Seperti terhadap orang yang hendak membuat lubang dibagian bawah dek kapal yang sangat membahayakan itu, untuk mencegahnya terletak ditangan penguasa kapal itu. Jika setiap orang berdiri untuk mencegahnya maka pasti akan menimbulkan pertikaian dan kerusuhan yang meluas. Sedang tentang kerusuhan dan kekacauan, Allah swt berfirman :  

 Wallaahu laa yuhibbul fasaad - Dan Allah tidak menyukai kerusuhan (Al Baqarah : 206)

Jika diambil maksudnya begini bahwa, jika rakyat tidak menykuai perbuatan Pemimpin mereka lalu mereka berdiri siap menentang Pemimpin mereka, dan mulai membangkitkan pemberontakan sambil menghancurkan harta milik negara, maka pengertian seperti ini bertentangan dengan petunjuk syari’at Islam. Ajaran Alqur’an yang berhubungan dengan itu sudah saya jelaskan diatas yakni :  

Wa yanhaa ‘anil fahsyaai wal munkari wal baghy Yakni - dan Allah melarang dari setiap perbuatan keji, dan hal yang tidak disenangi dan memberontak (An Nahl: 91)

Bagaimana contoh ke-itha’atan para Anbiya terhadap Pemerintah, diriwayatkan dalam sebuah hadis Rasulullah saw sebanyak 124.000 orang Nabi telah diutus Allah swt kedunia. Didalam Alqur’anul Karim telah disebutkan hanya sekitar 20 sampai 25 orang Nabi saja. Akan tetapi tidak diceritakan mengenai seorang Nabipun diantara mereka yang mengeluarkan suatu pernyataan atau perbuatan pemberontakan berkenaan dengan urusan duniawi melawan Pemimpin pemerintahan dizaman mereka. Atau mengajak para pengikut mereka untuk mengadakan protest menentang Pemimpin pemerintah yang berlaku pada waktu itu. Atau melakukan pengrusakan terhadap harta milik Negara. Tentang urusan agama semua Anbiya menolak akidah para Pemimpin negara mereka dan dengan tegas menyebar luaskan kepercayaan yang benar didaerah mereka masing-masing. Misalnya tentang Hazrat Yusuf a.s. pada umumnya diceritakan oleh Hazrat Khalifatul Masih Awwal dan juga oleh Hazrat Khalifatul Masih II r.a. bahwa, didalam permulaan surah itu difirmankan Tuhan sebagai berikut :  

Kami ceritakan kepada engkau sebaik-baik kisah dengan mewahyukan Alqur’an ini kepada engkau. Walaupun engkau sebelumnya termasuk orang-orang lalai. (Surah Yusuf :4) 

Kisah yang baik itu apa? yang Alqur’an telah ceritakan itu? Yaitu kebanyakan situasi yang bersangkutan dengan Nabi Yusuf yang ringkasannya adalah, Hazrat Yusuf bekerja sebagai Menteri khazanah pada pemerintahan seorang Raja Kafir di Mesir, seorang Fir’aun. Beliau bekerja sebagai pengawas keuangan kerajaan. Jika Raja berfikir bahwa Yusuf a.s. orang yang tidak setia atau na’uzubillah, beliau itha’at kepada Raja itu secara munafiq, tentu beliau tidak akan pernah dijadikan anggauta Kabinet kerajaannya. Demikian juga mengenai Hazrat Yusuf a.s. jika seseorang mempunyai anggapan demikian maka ia telah berlaku tidak hormat terhadap Nabi Yusuf a.s. Allah swt berfirman : 

Kazaalika kidna liyusufa maa kaana liya’khuza akhohu fi diinil maliki illaa anyyasyaa Allahu, narfa’u darojaatin man nasyaau
Artinya : Demikianlah telah Kami rencanakan untuk Yusuf. Ia tidak dapat menahan saudaranya tinggal dengannya menurut undang-undang Kerajaan, kecualai jika Allah menghendaki. Kami tinggikan derajat siapa yang Kami kehendaki....(Surah Yusuf : 77) 

Yakni menurut undang-undang Kerajaan Mesir, Hazrat Yusuf tidak dapat menahan saudara kandung beliau tinggal dengan beliau. Oleh sebab itu Allah swt telah membuat siasat atau rencana untuk Nabi Yusuf a.s. bahwa Allah swt telah menempatkan alat penakar gandum kedalam tempat barang saudara kandung beliau. Ketika petugas telah mencari alat penakar gandum itu, maka ia menjumpainya dari tempat barang saudara kandung Nabi Yusuf itu. Dari peristiwa ini dapat diketahui bahwa Nabi Yusuf a.s. sangat setia terhadap undang-undang Raja Kafir dan Musyrik Mesir. Sekalipun Hazrat Yusuf a.s. sangat menta’ati undang-undang duniawi kerajaan Kaffir Mesir itu, namun beliau tidak menta’ati undang-undang agama atau kepercayaan mereka. Disatu tempat Allah swt berfirman :


Hai orang-orang yang beriman ! ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. Dan jika kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikan  hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu memang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Hal demikian itu paling baik dan paling bagus akibatnya. (An Nisaa : 60)

Sehubungan dengan itu Hazrat Imam Mahdi, Masih Mau’ud a.s. bersabda : ” Patuh ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada Raja kalian.” Disatu tempat beliau bersabda dengan nada yang sama : ”Berusahalah kalian untuk patuh tha’at kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada Raja kalian.” Disatu tempat lagi beliau bersabda : ”Hai orang-orang Muslim jika terjadi saling berbeda pendapat tentang suatu perkara, maka untuk memutuskan perkara itu hendaknya kalian serahkan kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat, itulah cara yang paling baik bagi kalian. Bersabda lagi : Jika kalian bertengkar dalam suatu perkara maka untuk mencari keputusannya yang baik serahkanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hanya Allah dan Rasul-Nyalah yang harus kalian jadikan hakim untuk memutuskan perselisahan faham itu, jangan kepada yang lain lagi. 

Sudah saya katakan sebelumnya bahwa apabila timbul suatu masalah dalam urusan pemerintahan secara umum, maka keputusan Allah dan Rasul-Nya harus dipegang dan dita’ati jangan menimbulkan pemberontakan, dan jangan pandang masalah duniawi macam apa yang sedang diahadapi itu. Mengadakan pemberontakan tidak dapat diizinkan. Disatu tempat Hazrat Imam Mahdi, Masih Mau’ud a.s. bersabda:”Perintah didalam Alqur’anul Karim adalah : Athi’ullaha wa athi’ur rasuula wa uulil amri minkum. Perintah tha’at kepada  ulil amri sangat jelas sekali. Jika ada yang berkata bahwa pemerintah tidak termasuk dalam perkataan minkum, maka hal itu adalah kesalahan yang jelas sekali. Apapun yang dilakukan Pemerintah yang tidak bertentangan dengan undang-undang syari’at termasuk kedalam minkum tersebut. Demi isyarah kepada manusia terbukti dari Alqur’an bahwa manusia harus patuh tha’at kepada pemerintah dan harus tunduk kepada perintahnya. Beliau bersabda : ”Jika Penguasa berbuat zalim, janganlah mencaci-makinya kesana-kemari, melainkan perbaikilah keadaan diri pribadi sendiri, Tuhan akan menggantinya dengan Pemimpin lain atau Tuhan akan merubah tabi’at Pemimpin itu menjadi baik. Kesulitan yang dirasakan seseorang adalah akibat dari keburukan diri pribadinya sendiri. Jika tidak, Allah swt berlaku sattar (menutupi kelemahan) hamba-Nya yang mukmin. Bagi orang mukmin, Allah swt sendiri Yang menyediakan segala sarana keperluan hidupnya. Nasihat-ku adalah, jadilah kalian tauladan dalam segi kebaikan bagi yang lain dalam setiap keadaan, jangan meninggalkan hak-hak Allah swt dan hak-hak sesama manusia. Orang-orang Ahmady-lah yang harus menegakkan semua hal itu. Ulil amri minkum bukan hanya ditujukan kepada seorang Pemimpin mukmin saja, sebagaimana Hazrat Khalifatul Masih II r.a. telah menjelaskan sebagai berikut : ” Banyak orang-orang Muslim yang melakukan kesalahan tentang Ulil amri minkum yang mengartikan terbatas hanya kepada pemimpin Muslim saja yang harus ditha’ati. Pendapat demikian sungguh keliru dan bertentangan dengan ajaran Alqur’anul Karim. Memang didalam ayat itu terdapat perkataan minkum akan tetapi minkum bukan berarti orang yang memiliki agama atau mazhab yang sama dengan agama atau mazhab kamu. Melainkan artinya adalah seorang diantara kamu yang terpilih sebagai Hakim atau Penguasa. Demikianlah penggunaan lafaz min didalam Alqur’anul Karim. Didalam Alqur’anul Karim Allah swt berfirman kepada orang-orang Kuffar : Alam ya’tikum rusulun minkum, didalam ayat ini jika perkataan min diartikan agama, maka na’uzu billahi min zalik, rasul-rasul dan orang kuffar sama-sama satu agama atau satu mazhab. Jadi, tidak seharusnya setiap min artinya sama-sama satu agama atau satu mazhab. Ia dapat juga dipakai dalam arti-arti yang lain dan ditempat ini artinya adalah Hakim atau Penguasa dinegara kalian, bukan artinya Hakim mereka yang harus ditha’ati oleh mereka. Melainkan tha’atilah yang menjadi Hakim kalian atau Penguasa kalian. Dan berfirman : Wain tanaaza’tum bisyain farudduuhu ilallahi wa rasulihi bukan artinya bahwa kalian harus memutuskan berdasarkan Alqur’an dan Hadis Rasulullah saw, melainkan artinya adalah apabila terjadi pertikaian dengan Penguasa maka kembalikanlah kepada hukum-hukum Allah swt dan Rasul-Nya, dan hukum itu maksudnya ialah manusia harus memberitahukan kesalahan Pemimpin negaranya, jika ia tidak mau menerimanya maka serahkanlah perkaranya itu kepada Allah swt dan Dia sendiri Yang akan memutuskannya dan Dia akan memberi hukuman terhadap orang zalim. 

Seperti telah saya jelaskan tentang peristiwa Hazrat Yusuf a.s. dan dalilnya telah dikemukakan. Beliau r.a. bersabda: ” Sebagaimana didalam Alqur’anul Karim telah dijelaskan kissah Hazrat Yusuf a.s. telah dikemukakan juga dalil-dalilnya bahwa Hakim atau Penguasa dari agama atau dari mazhab apapun, perlu sekali kita mentha’atinya. Bahkan jika hukum-hukum yang dia jalankan bertentangan dengan hukum-hukum yang menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk melaksanakannya, ia tetap harus ditha’atinya juga. Maka mengenai Hazrat Yusuf a.s. Allah swt berfirman : Ketika adik kandungnya yang paling kecil dibawa kepadanya, maka tidak dapat ia menempatkannya bersama-sama dirinya disebabkan terikat oleh undang-undang Raja-nya itu. Oleh sebab itu Tuhan telah membuat rencana-Nya sendiri. 

Selanjutnya beliau r.a. bersabda : ” Ayat yang berbunyi : Ij’alnii ’ala khazaainil ardhi
Artinya : Berkata ia yakni Yusuf, jadikanlah aku bendahara negeri ini, karena aku seorang penjaga yang baik serta sangat faham. (Surah Yusuf ; 56)

Dalam Kitab tafsir Fathul bayaan, dibawah ayat ini tertulis sebagai berikut : Dari ayat ini diambil sebagai dalil bahwa menerima kedudukan yang diberikan oleh Raja kaffir atau Raja zalim adalah diperbolehkan bagi orang yang yakin terhadap kemampuan dirinya untuk menegakkan kebenaran.  Ingatlah bahwa menegakkan kebenaran disini maksudnya bukan untuk menjalankan syari’at agama Pemimpinnya sendiri. Sebab dari perkara adik Hazrat Yusuf a.s. jelaslah bahwa untuk bekerja dengan Raja Kaffir bukanlah berarti seorang mukmin menjalankan syari’at agama Rajanya. Jadi menjaga hak disini maksudnya tiada lain adalah jangan mencampuri urusan zalim Pemimpin-nya yang kaffir itu. Jadi dari perkara Nabi Yusuf a.s. itu nyatalah bahwa sekalipun pemerintahan itu dipimpin oleh orang kaffir, patuh tha’at kepadanya penting sekali. 

Apa yang harus dilakukan dalam keadaan perselisihan antara rakyat dengan para Penguasa pemerintah. Tentang ini terdapat penjelasan lebih lanjut. Pemimpin maksudnya bukan hanya Pemimpin Muslim saja yang harus ditha’ati. Berkenaan dengan hal ini bagaimana nasihat Hazrat Rasulullah saw. Pertama beliau saw bersabda tentang Khulafa. Beliau bersabda : ” Aku berwasiyyat kepada kalian yaitu, bertaqwalah kalian kepada Allah swt dan jadikanlah itha’at dan setia sebagai cara hidup kalian, sekalipun seorang Habsyi berkulit hitam menjadi Pemimpin kalian. Orang-orang yang akan hidup setelah aku tiada, akan menyaksikan timbulnya perselisihan sangat besar sekali. Maka bagi orang-orang yang hidup pada waktu itu nasihat-ku adalah : ” Peganglah erat-erat sunnah-sunnahku dan sunnah-sunnah para Khulafau Rasyidin. Peganglah teguh-teguh oleh kalian semua sunnah-sunnah itu. Dan sebagaimana suatu benda ditahan sekuatnya dengan gigi, demikianlah sunnah-sunnah itu harus dipegang kuat-kuat. Sekali-kali jangan kalian tinggalkan jalan-jalan yang ditunjukkan oleh-ku dan juga oleh para Khulafa Rasyidin.” Dan ajaran apa-pun yang telah diberikan mengenai perkara hukum-hukum duniawi. Dalam Riwayat Bukhari Rasulullah saw bersabda : ” Setelah aku tiada kalian akan menyaksikan perlakuan yang tidak adil terhadap kalian. Hak-hak kalian akan ditekan dan orang lain akan lebih diutamakan dari pada kalian. Dan kalian akan menyaksikan banyak perkara yang kalian sendiri tidak sukai. Para sahabah berkata : ”Ya Rasulallah diwaktu kejadian demikian apa nasihat Huzur bagi kami ?” Beliau bersabda : ” Apa yang menjadi hak-hak para Pemimpin serahkan kepada mereka dan hak-hak kalian mintalah kepada Allah swt.” Didalam Kitab Hadis Muslim juga terdapat sebuah hadis. Rasulullah saw bersabda : ” Bagaimanapun zalim dan fasiq-nya Pemimpin Bangsa, kalian harus mentha’atinya. Jadi, penuhilah hak kewajiban pemimpin yang zalim juga, janganlah melakukan pemberontakan terhadap-nya dan janganlah menolak itha’at kepadanya. Bahkan harus memanjatkan do’a kehadirat Allah swt agar Dia menjauhkan kesengsaraan, kesusahan dan kejahatan akibat kezalimannya itu. Dan harus memanjatkan do’a dengan sungguh-sungguh sambil merendahkan diri dihadapan Allah swt agar Dia Yang Maha Kuasa memperbaiki dirinya. 

Setiap orang Ahmady harus ingat juga bahwa dengan syarat-syarat apa ia telah bai’at kepada Hazrat Masih Mau’ud a.s. Misalnya syarat bai’at Nomer 2 yaitu : Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan berahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru-hara, dan memberontak; serta tak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga besarnya dorongan itu terhadapnya. Syarat No 4 yaitu : Tidak akan mendatangkan kesusahan apapun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah seumumnya dan Kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya biar dengan lisan atau dengan tangan atau dengan cara apapun juga. 

Hazrat Imam Mahdi, Masih Mau’ud a.s. bersabda : Walfitnatu akbaru minal qotl artinya, menyebarkan pemberontakan yakni merusak keamanan lebih besar dosanya dari pada pembunuhan. Beliau a.s. bersabda : Yang dimaksud dengan Ulul Amri secara jasmani adalah Raja dan secara ruhani adalah Imam Zaman. Dan secara jasmani orang yang tidak menentang kita dan kita dapat memperoleh faedah dari padanya bagi kepentingan agama, maka dia itu dari golongan kita.” Beliau a.s. bersabda lagi : ” Jika disuatu tempat, na’uzu billah, wabah ta’un telah merebak, dimana diantara kamu ada disana, jika saya memberi petunjuk bahwa orang pertama yang harus menta’ati undang-undang negara adalah kamu, jika pemerintah melarang keluar meninggalkan tempat itu maka kamu harus menta’atinya. Dibeberapa tempat telah didengar laporan bahwa banyak orang yang menentang polisi, tidak mau menta’ati peraturan negara. Menurut pendapat saya melanggar undang-undang negara sama dengan memberontak terhadap negara dan merupakan dosa yang sangat berbahaya. Memang, kewajiban Pemerintah untuk memilih officer yang berakhlaq baik, yang betul-betul mengetahui adat kebiasaan bangsa dan mengetahui batas-batas hukum agama. Pendeknya kamu sendiri harus mengamalkan peraturan-peraturan itu dan memberitahukan faedah peraturan-peraturan itu kepada teman-teman atau kepada para jiran atau tetangga. Selanjutnya beliau a.s. bersabda : ” Ikut mengambil bagian dalam pemogokan atau protest yang dilakukan di-college atau di University adalah bertentangan dengan ajaran Jema’at kita dan hal itu serupa dengan pemberontakan. Ketika pemogokan yang dilakukan para mahasiswa di Lahore menentang para Proffessor, para mahsisawa yang tergabung didalam Jema’at telah saya larang agar jangan turut ambil bagian didalam pemogokan atau didalam kegiatan protest itu. Mintalah ma’af kepada para Proffessor itu dan segera masuk lagi kedalam College atau University. Maka, mereka telah menta’ati perintah saya dan telah masuk kembali kedalam college dan mereka telah menunjukkan tauladan yang sangat baik sehingga para mahasiswa lainnya juga segera masuk kembali kedalam college atau University bersama mereka. 

Mengenai hal itu Hazrat Khalifatul Masih I r.a. memberi penjelasan bahwa, bagi setiap orang Muslim sangat penting sekali ta’at kepada Allah swt dan ta’at kepada Rasul-Nya dan juga itha’at kepada Ulul Amri. Jika Ulul Amri itu menentang firman Allah dan Rasul-Nya, maka orang-orang yang secara pribadi tidak dapat menta’atinya mereka boleh meninggalkan negara itu jika tidak dapat bertahan dengan keadaan demikian. Athi’ullaha wa athi’ur Rasul wa Ulul Amri minkum perintah yang sangat jelas sekali.  Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah Para Pemimpin, Raja, peringkat pertama, kemudian para Ulama dan Fuqaha adalah peringkat kedua. Banyak orang telah bertanya tentang status pertemuan-pertemuan dan demonstrasi yang pernah diizinkan oleh Hazrat Muslih Mau’ud r.a. bersama-sama dengan orang-orang Muslim Hindustan demi menegakkan keamanan bagi penduduk Kashmir. Orang-orang menganggap cara demonstrasi diwaktu itu sama dengan cara yang dilakukan pada waktu sekarang untuk memberontak melawan Pemerintah, oleh sebab itu mereka menganggap pemberontakan itu legal. Padahal pendapat itu datang dari luar Jema’at, sedangkan demonstrasi yang dilakukan pada waktu itu maksudnya untuk memberi pengertian tentang hak-hak orang Kashmir, dengan tanpa menimbulkan perkelahian atau perlawanan tidak pula melakukan kerusakan terhadap aset-aset Negara. Ditekankan kepada Pemerintah pada waktu itu bahwa hak-hak penduduk Kashmir harus ditetapkan, harta benda mereka hanya tinggal nama saja tidak jelas statusnya bagi mereka. Penghasilan dari semua jaidad (harta) mereka diambil oleh Raja Kashmir. Diminta perhatian kepada Pemerintah agar orang-orang Kashmir dapat memperoleh hak-hak mereka.  

Bagaimanapun, mengenai pemogokan yang dilakukan masyarakat pada bulan Nopember 1929 Hazrat Khalifatul Masih II r.a. telah dimintai keterangan bagaimna sikap yang harus dilakukan orang-orang Ahmady.  Beliau bersabda ;  Tidak boleh ikut dalam aksi pemogokan itu, tetapi untuk mengadakan pertemuan-pertemuan dan demonstrasi harus ikut bagian. Sepanjang demonstrasi yang berkaitan dengan tuntutan hak-hak penduduk Kasymir itu dapat dibenarkan, sebab Pemerintah telah memberi izin untuk mengadakan demonstrasi itu. Akan tetapi mengadakan pemogokan, menutup kedai-kedai (toko-toko) atau merusak bangunan atau aset-aset Negera tidak diperbolehkan. Ada seorang yang berkata : Dikota-kota kedai-kedai milik anggauta Jema’at tidak banyak dan jika dibiarkan tetap buka akan menimbulkan bahaya, orang-orang lain akan datang membawa pentungan memaksa untuk menutup kedai-kedai itu. Huzur r.a. bersabda: Jika mereka memaksa menggunakan pentungan menutup kedai-kedai itu, biarkan mereka lakukan, lalu laporkan kepada polisi bahwa kita mau membuka kedai-kedai namun orang-orang dengan paksa menutup kedai-kedai kami. Jika polisi menyuruh membuka kedai itu bukalah, jika tidak ya tidak usah.” 

Seorang telah bertanya, apakah mengadakan pemogokan (menutup kedai-kedai) dilarang menurut undang-undang ? Beliau r.a. bersabda : ”Bukan masalah undang-undang, namun hal itu suatu perbuatan yang sia-sia yang mendatangkan kerugian terhadap pelanggan dan juga kepada pemilik kedai atau kepada pengusaha sendiri. Orang-orang Muslim dari tempat yang dekat maupun jauh datang ke Lahore untuk membeli barang-barang keperluan mereka, pasti mereka mendatangi kedai-kedai orang Muslim. Namun kedai orang-orang Muslim semua tutup. Oleh sebab itu kerugian akan menimpa orang-orang Muslim itu.” Beliau selanjutnya bersabda : ” Kami tidak dapat bekerja sama dengan orang-orang yang melanggar undang-undang. Ada beberapa kelompok Muslim yang mengajarkan pemogokan dan pemberontakan. Banyak juga yang menganjurkan untuk melakukan pembunuhan. Banyak yang menganggap tidak penting terhadap undang-undang. Dalam semua perkara itu kita tidak dapat bekerja sama dengan kelompok-kelompok semacam itu. Sebab perkara itu semua melanggar ajaran agama kita. Batasan hukum Agama demikian pentingnya, tidak dapat ditawar-tawar biarpun seluruh pemerintahan menjadi musuh kita, dan jika setiap ada orang Ahmady ditangkap lalu disalib, bagaimanapun keputusan kita tidak dapat berubah, bahwa undang-undang Syari’at ataupun undang-undang Negara tidak boleh  dilanggar. Jika disebabkan semua undang-undang itu kita mendapat kesulitan yang sangat pahit sekali, tetap kita tidak dibenarkan untuk melanggarnya.” 

Demikianlah penjelasan tentang pemogokan, pemberontakan dan lain sebagainya semua sudah termasuk didalam perkara diatas. Pertama hadis yang dibahas yang berkaitan dengan  ayat 206 Surah Albaqarah telah dijelaskan yaitu  : :  Wallaahu laa yuhibbul fasaad ; Artinya : Dan Allah tidak menyukai kerusuhan (Al Baqarah : 206). Apabila perlakuan paksa-memaksa telah dimulai maka timbullah kerusuhan dimana-mana. Sangat malang sekali pada zaman ini suasana kerusuhan telah mencekam negara-negara orang Muslim. Bunyi ayat seluruhnya adalah sebagai berikut : 

Dan apabila ia berkuasa berkeliaranlah ia dimuka bumi untuk membuat kekacauan didalamnya dan membinasakan sawah-ladang dan keturunan manusia, dan Allah tidak menyukai kekacauan. (Al Baqarah; 206). 
  
Apabila Pemimpin yang zalim berkuasa diatas suatu negara, dia berusaha membinasakan harta milik, sawah ladang dan anak-keturunan para penentangnya tanpa belas kasih. Sekarang ayat tersebut secara lengkap memberi peringatan terhadap para pemimpin zalim seperti itu. Oleh karena firman Allah swt sifatnya umum maka Wallaahu laa yuhibbul fasaad - Dan Allah tidak menyukai kerusuhan, berlaku terhadap para pemberontak juga. 

Jadi sebagaimana pada permulaan telah saya katakan bahwa undang-undang Alqur’anul Karim tidak berlaku hanya terhadap masyarakat awam saja melainkan berlaku terhadap para Pemimpin Negara juga. Mereka jangan merasa takabbur kerana kedudukan, kemudian berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan kerusuhan. Jangan merampas hak-hak rakyat, jangan membuat banyak perbedaan diantara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin sehingga dapat membangkitkan keresahan dikalangan masyarakat. Akibatnya akan timbul pemberontakan menentang pemerintah. Akhirnya kalian sebagai pemimpin akan menjadi mangsa kemurkaan Allah swt. Sekarang tengoklah keadaan yang sedang memanas diatas muka bumi. Tanpa kecuali dimana-mana didunia ini sedang didengar suara tuntutan bahwa kekayaan Negara sedang dirampok dan hak-hak rakyat sedang diabaikan. Alangkah malangnya nasib para Pemimpin yang diperingatkan oleh Allah swt dan senarai (daftar) yang paling atas yang terkena peringatan Allah swt itu adalah para Pemimpin Negara-negara orang Muslim yang sedang melakukan gerak-gerik seperti itu. Tanggung jawab untuk melindungi jiwa dan harta milik awam terletak diatas pundak para Pemimpin Bangsa. Dan tanggung jawab untuk meningkatkan perbaikan ekonomi masyarakat juga terletak diatas pundak para Pemimpin Bangsa. Demikian juga tanggung jawab untuk menjamin sarana kesehatan masyarakat terletak diatas pundak para Pemimpin Bangsa. Dan banyak urusan lainnya lagi yang menjadi tanggung jawab mereka, semuanya adalah kewajiban pemerintah, yang harus dilaksanakan. Karena rakyat melihat bahwa hal itu semua tidak dilaksanakan maka mereka melakukan kerusuhan dan pemberontakan menentang pemerintah. Sedangkan kerusuhan dan pemberontakan adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah swt. Jadi, para Pemimipin Bangsa kita sambil menghargai semua anugerah Allah swt harus berusaha keras berjalan diatas landasan atau tauladan yang contoh-contohnya kita kemukakan. Misalnya bagaimana Hazrat Umar r.a. telah berlaku adil yang sangat mengesankan dalam menjalankan pemerintahan. Sehingga ketika sebuah pemerintahan telah kembali menjadi negara Keristen rakyat disana banyak sekali berdo’a sambil menangis mengharapkan agar pemimpim Muslim kembali kenegara mereka. Sedangkan yang terjadi sekarang adalah terbalik, rakyat Muslim berdiri menentang Pemimpin pemerintahan Muslim sendiri, sebabnya adalah keadilan tidak dapat ditegakkan. Jadi, sekarang mereka harus berusaha mencari taqwa yang sudah menghilang dari dalam hati orang-orang Muslim, taqwa sudah habis dan hilang lenyap. Baik para pemimpin maupun rakyat awam jika kedua belah pihak berpegang teguh kepada taqwa mereka pasti akan memperoleh kejayaan. Bagaimanapun bagi para Ahmady merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwa mereka harus menjauhkan diri dari setiap jenis kerusuhan. Banyak-banyaklah memanjatkan do’a, jika betul-betul do’a itu keluar dari dalam lubuk hati yang bersih maka pada suatu ketika pasti Allah swt akan mengabulkannya. 

Jika Pemimpin mereka seorang yang zalim maka Allah swt akan melindungi mereka dari kezalimannya. Perubahan yang sedang kita saksikan sekarang barangkali hanya merupakan kedamaian sementara untuk waktu yang akan datang bukan kedamaian untuk selamanya. Demikian juga perubahan-perubahan kekuasaan yang dihasilkan melalui kezaliman atau melalui perebutan kekuasaan, maka setelah beberapa lama kemudian akan berdiri lagi pemerintahan yang zalim. Setelah pemimpin zalim yang satu pergi, akan datang lagi pemimpin zalim yang lain. Oleh sebab itu kita harus banyak-banyak berdo’a semoga Allah swt tidak memberi pemimpin yang zalim berkuasa diatas kita. Semoga ammatul muslimin (rakyat muslim) dan juga para penguasa muslim betul-betul mengenal hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka sehingga mereka mampu menampilkan ajaran Islam yang sejati kepada dunia. Amin !!!
(Alihbahasa oleh Hasan Basri)

                 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar