Atun, demikian dia biasa disapa, segera mempercepat langkah. Siang itu, dia sedang berjalan kaki pulang dari sekolah, melewati kota, menuju rumahnya di ujung Kampung Sawing, dua kilometer dari kantor bupati. Selama perjalanan pulang, pikiran siswi kelas dua Sekolah Menengah Pertama 2 Selong ini tertuju pada rumah sahabatnya. Rumah merangkap toko yang hancur itu milik Awaluddin, ayah dari kawan-kawannya di masjid, Ema dan Ica.
Lima ratus meter sebelum mencapai rumahnya, berbelok ke kiri, ada sebuah perkampungan di antara sawah dan kebun-kebun. Namanya Kampung Montong Gamang. Atun mengenal beberapa teman di situ, salah satunya keluarga Hammatul Hayyi.
Malam sebelumnya, Hayyi menginap di rumah Malik Saifur Rahman, saudara dekat sekaligus teman satu sekolah. Rumah Hayyi berjarak tiga puluh meter dari rumah Malik. Rabu pagi itu, Hayyi dan Malik berangkat bersama ke sekolah. Malik menyebut bibi pada Hayyi dari hubungan darah mereka, meski umurnya sepantar.
Di sekolah, Hayyi mendengar beberapa anak bergunjing. Tampaknya ada yang tahu dia menginap di rumah Malik. Hayyi tak suka mendengar teman-temannya berbisik. Dia khawatir mereka membicarakan dirinya sebagai anak Ahmadi. Dia tak suka, sekaligus takut.
Ahmadi adalah sebutan bagi anggota jemaah Ahmadiyah. Ahmadiyah merupakan kelompok dalam Islam yang meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Mahdi; tanda akhir zaman yang mendapatkan nubuwat atau ilham kenabian untuk menuntun sebuah gerakan pembaharuan Islam. Bagi kelompok Islam tertentu, apa yang diyakini oleh Ahmadiyah ini dianggap sesat dan penodaan terhadap Islam.
Seusai sekolah, Malik dan Hayyi tak langsung pulang. Keluarga mereka sudah menanti di depan sekolah, membawa mereka mengungsi ke Markas Kepolisian Resor Lombok Timur. Itu hari terakhir keduanya melihat rumah.
Tiga ratus meter sebelah timur kantor bupati Lombok Timur, berdiri Masjid Khilafah, pusat aktivitas Ahmadiyah Pancor. Di masjid yang dapat menampung lima ratus orang ini anak-anak jemaah Ahmadiyah biasa bertemu. Di seberang masjid, dipisahkan jalan aspal, ada rumah Bupati Lombok Timur, Syahdan.
Dua ratus meter di belakang masjid, dihela sawah, berdiri rumah ulama Azhar Izuddin. Ada gang sedikit memutar untuk mencapainya. Rumah ini berukuran 8 x 6 meter persegi. Masing-masing anak Azhar yang berkeluarga tinggal dalam satu kamar di rumah tersebut. Keluarga Muhammad Irwan, ayah Irma Nurmayanti, menempati kamar di ruangan belakang, terpisah dari rumah induk. Dapur dan kamar mandi dipakai bersama.
Malam sebelumnya, Azhar dan pengurus Ahmadiyah berada di Masjid Khilafah. Mereka bicara soal penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah. Rumah Rehanuddin yang pertama kali dirusak. Jaraknya hanya dua puluh meter dari rumah Azhar. Kedua rumah itu ada dalam satu gang.
Keluarga Azhar yakin, rumahnya tak mungkin diserang. Azhar ulama yang cukup disegani. Badannya tinggi besar, kulit hitam, janggut putih. Dia punya wibawa.
Sore itu, Rehanuddin datang dari kantor polisi. Dia mengajak keluarga Azhar untuk mengungsi. Rehan khawatir penyerangan itu tak berhenti pada rumahnya. Permintaan tak ditanggapi. Bahkan, beberapa jemaah ikut mengungsi ke rumah Azhar. Mereka menganggap rumah tersebut paling aman untuk berlindung.
Sebelum maghrib, seorang polisi bernama Sabri datang. Dia satu-satunya Ahmadi di Pulau Lombok yang menjadi polisi. Sabri hendak ikut salat berjemaah. Dia juga ingin melihat kondisi keluarga tersebut. Mereka memutuskan salat maghrib sekalian isya. Azhar memimpin salat.
Sekitar pukul 19.00 WITA, melingkar di ruang utama, keluarga Azhar makan bersama. Nasi dan lauk pauk disiapkan. Irma Nurmayanti duduk bersama keluarga. Dia senang makan bersama.
Suara dentingan batu beradu atap tiba-tiba mengagetkan keluarga Azhar. Sebagian atap rumah berupa lembaran seng bikin suara makin keras. Lemparan pertama berasal dari arah sawah.
Irma panik. Dia tak menduga rumahnya bakal diserang. Orang-orang terdiam. Sabri keluar dengan gesit. Naluri polisi mendorongnya segera bertindak.
DOR!
Sabri melayangkan tembakan peringatan ke udara. Hening sejenak.
Lemparan batu muncul dari arah selatan. Kini makin banyak dan suara benturannya kian bertubi dan keras. Orang-orang panik. Mereka berhamburan. Mencari perlindungan.
Irma diseret orangtuanya ke satu kamar di belakang. Dia tak sendiri. Dalam gelap, Irma melihat kamar itu penuh dengan keluarganya. Beberapa paman dan sepupu meringkuk di atas kasur. Yang lain di bawah ranjang. Irma duduk bersandar di dinding sisi pintu.
Seluruh penerangan segera padam. Irma ketakutan. Dia menangis tanpa bersuara. Dia tak bisa tidur. Hingga pukul dua malam, suara-suara lemparan batu ke rumah Azhar Izuddin terus berdentam.
***
Markas Kepolisian Resor Lombok Timur terletak di timur kota. Posisinya di sisi barat jalan mendaki. Bagian depan dibatasi pagar yang terpacak di atas tanggul. Taman rumput mengisi halaman depan. Luas gedung sekitar 30 x 15 meter persegi. Sebuah lorong di tengah-tengah membagi ruangan besar.Di belakang kantor, berdiri sebuah bangunan. Ada tiga buah kamar mandi di sisi kanan. Tangga setinggi lima meter melingkari teras. Di atas dinding depan tertulis “Gedung Dharma Wanita”.
Gedung serbaguna itu kosong melompong. Namun, selama dua minggu, sejak serangan terhadap rumah Azhar Izuddin, gedung ini penuh dengan jemaah Ahmadiyah. Tiga ratus orang berjejal. Kadang bertambah dan berkurang. Pengungsian bergelombang ini menimbulkan kesan campur aduk bagi anak-anak.
Atun menangis ketika ikut mengungsi. Tapi air matanya segera berhenti begitu bertemu semua teman baiknya. Dia gadis berambut pendek sebahu. Periang dan mudah bergaul. Ada bercak-bercak merah di sekitar pipinya. Beberapa teman bilang kulit Atun yang putih mirip bule.
Bersama temannya di pengungsian, dia bermain dari pagi hingga sore. Kesempatan seperti ini jarang dia dapatkan. Biasanya, anak-anak jemaah Ahmadiyah hanya bertemu sore atau akhir pekan saat berkumpul di masjid.
Para pengungsi dapat jatah mi instan. Namun, tak ada kompor. Mereka kadang menukarnya dengan nasi bungkus atau mencari makan sendiri. Pelan-pelan, mereka cari akal. Kompor dibuat dari api unggun dengan menggunakan serpihan kayu dan sampah dedaunan. Mereka menjerang air panas dengan air terisi penuh dalam botol plastik. Atun diajarkan masak demikian. Dia keheranan botol plastik ini tak meleleh sampai air mendidih.
Keriangan Atun lenyap menjelang tidur. Bangsal gedung terlalu kecil untuk seluruh pengungsi. Mereka tidur beralaskan tikar tipis. Dingin udara malam menusuk-nusuk. Semua orang berusaha mencari posisi nyaman. Kepala berdekatan dengan telapak kaki orang lain. Sebagai gadis beranjak dewasa, Atun merasa ingin sedikit memiliki ruang pribadi. Tapi dia harus tidur campur bersama lelaki.
Di gedung ini, ada tiga kamar mandi. Karena pengungsi banyak, ia digunakan bergantian dengan antrian panjang berjam-jam. Polisi kemudian mengijinkan kamar mandi di dalam kantor untuk turut digunakan. Atun senang memakai kamar mandi ini.
Bagi para orang tua, kejadian pengusiran dari kampung sulit diterima. Mereka tahu, banyak orang sebelumnya benci dengan jemaah Ahmadiyah. Sudah sering ada kejadian orang Ahmadiyah diasingkan dari keluarga, bahkan diarak keliling kota oleh saudara sendiri. Tapi, tak pernah mereka diminta mengungsi. Rumah hancur. Harta ludes. Inilah pertama kalinya mereka menghadapi gelombang kekerasan secara massal.
***
Satu persatu jemaah Ahmadiyah berkumpul di Markas Kepolisian Resor Lombok Timur. Semuanya dijemput dengan alasan sama: demi keamanan. Anggota polisi dan tentara berjanji “akan melakukan pengamanan maksimal terhadap rumah-rumah.” Beberapa pengungsi memberikan kunci rumah dan persediaan makanan kepada petugas jaga ketika diminta pergi.Menurut Khaerudin, selama di Markas Polisi, mereka dilarang keluar. Mereka mengetahui kabar mengenai situasi kota dan rumah-rumah mereka dari kerabat dan teman yang berkunjung. Dari situ, dia memperkirakan rumahnya juga turut diserang.
Pada Jumat malam, Khaeruddin memang melihat cahaya merah dari arah kampung. Bunyi suara gemeretak atap-atap rumah dari bambu yang terbakar terdengar keras. Dia membayangkan rumah tetangganya, yang juga seorang Ahmadi, dibakar. Dia yakin rumahnya juga tinggal puing.
***
Jumat, 15 September 2002, pukul dua dini hari. Polisi membangunkan sepuluh orang. Di antaranya Musifudin, Azhar Izuddin, Syapi’in, Mahmuludin, Sulaiman Damanik, Arifin Faruk, Awaluddin, dan Amin Agus. Mereka pengurus Ahmadiyah cabang Pancor. Polisi Lombok Timur rupanya menyediakan tempat baru untuk mereka.Amin Agus tak membawa keluarganya. Alasannya, dia seorang pendatang di Lombok Timur dan istri serta anaknya akan lebih aman bersama keluarga mereka. Apalagi, ibu mertua Amin memiliki garis darah dengan pendiri Nahdlatul Wathan.
Nahdlatul Wathan merupakan organisasi Islam terbesar dan terkuat di pulau Lombok. Pusatnya di Kecamatan Pancor, Selong, dan didirikan oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid pada 1935. Satu blok dari Nahdlatul Wathan, berdiri Masjid Khilafah punya Ahmadiyah. Beberapa keluarga Ahmadi, termasuk mertua Amin, adalah keluarga besar pendiri Nahdlatul Wathan.
Malam itu, orang-orang dalam daftar khusus dipindahkan ke Markas Komando Distrik Militer Lombok Timur. Di lokasi baru, mereka mendapat tempat yang lebih baik. Masing-masing keluarga diberi sebuah kamar kecil di samping gedung utama. Mereka mendapat kasur, bantal, dan selimut. Sebuah kemewahan dalam situasi genting saat itu.
Namun, penjagaan sangat ketat. Mereka dilarang berkeliaran apalagi keluar dari areal gedung. Musifudin dan Azhar Izuddin gelisah. Sudah dua hari mereka tak mendengar kabar anak-istri yang berada di Markas Kepolisian Resor Lombok Timur. Amin Agus sudah pulang diam-diam ke Markas Polisi itu sehari sebelumnya, tapi tak juga ada kabar darinya. Waktu tempuh Markas Komando dan Markas Polisi hanya sepuluh menit dengan berjalan kaki.
Musifudin dan Ahzar minta ijin pulang ke Markas Polisi. Penjaga memberi ijin. Dan mereka terkejut. Rupanya, selama ini mereka masuk sel isolasi, macam tahanan khusus politik. Menurut Amin, pengasingan macam ini sudah direncanakan matang. Isolasi informasi antara Komando Distrik dan Markas Polisi juga disengaja.
Tekanan psikologis terus menerpa jemaah Ahmadiyah. Suatu hari di Jumat dan Sabtu, Kepala Kepolisian Resor Lombok Timur, Wiguna, mengumpulkan pengungsi laki-laki di musala, samping kiri gedung. Wiguna memberikan kabar bahwa seluruh pengurus Ahmadiyah di Komando Distrik Militer sudah menyatakan keluar dari Ahmadiyah.
”Siapa yang ingin tinggal di Lombok Timur?” tanya Wiguna kemudian.
Beberapa orang pun mengacungkan jari. Mereka berpikir, ini cuma soal pilihan tinggal di kampung. Peristiwa ini terjadi beberapa kali.
“Sudah, Pak, jangan menjebak kami,” sela Anwar Tampubolon. “Tanyakan saja siapa yang ingin keluar dari Ahmadiyah!”
Tampubolon pria berbadan gempal. Gaya bicaranya meledak-ledak, khas orang Batak. Dia termasuk orang pertama, bersama pengacara dan seorang sopir, yang langsung dikirim dari Parung, Bogor, Jawa Barat, basis Jemaah Ahmadiyah Indonesia, untuk menemani para pengungsi. Tampubolon bukan pengurus teras, tapi gayanya dinilai tepat menghadapi karakter orang Lombok yang keras.
Wiguna memberikan dua opsi: keluar dari Ahmadiyah atau dari Lombok Timur. Secara halus, ini pengusiran terhadap jemaah Ahmadiyah.
”Aparat kami akan mengantarkan sampai perbatasan. Jika ke barat (Mataram) akan kami antar, jika ke timur (Sumbawa) akan kami antar sampai pelabuhan,” kata Wiguna.
Setelah malam itu berlalu, Atun melihat perilaku ayahnya yang ganjil, sulit berkomunikasi serta makan seperti kesetanan. Nasi atau mi instan dilahap ayahnya dengan cepat, langsung pakai tangan dan dijejalkan ke mulut. Ingatan terhadap ayahnya ini membuat hati Atun hancur. Dia jarang mau berbicara soal masa-masa sulit ayahnya.
***
Hultiya Fatimah duduk di sisi kanan, bangku baris kedua mobil Colt L300. Keluarganya ikut. Fatimah anak kedelapan Musifudin. Dia kakak kelas Irma Nurmayanti, cucu ulama Azhar Izuddin. Rumah Azhar hancur dilempari batu-batu, rumah yang menjadi benteng perlindungan terakhir sebagian jemaah Ahmadiyah Pancor.Postur Fatimah kecil. Kulitnya coklat. Wajahnya tirus. Gigi atasnya terlihat menonjol ketika berbicara. Fatimah periang. Bicaranya cepat dengan gaya argumentatif. Susah membuatnya diam jika mulai bicara.
Sebelas mobil keluar dengan perlahan dari Markas Kepolisian Resor Lombok Timur, berbelok ke arah selatan.
Fatimah terus bicara. Dia sibuk memperhatikan suasana kota yang baru dilihatnya sejak mengungsi. Mobilnya melewati taman kota menuju arah timur. Ini jalur yang dia lewati jika berangkat ke Masjid Khilafah.
Begitu mobil mendekati masjid, di kiri jalan, dia melongok, bersaing dengan para penumpang. Tujuannya satu: sebuah masjid yang sekian lama menjadi tempat mereka beribadah, tempat bermain, tempat keceriaan. Fatimah kaget. Dia melihat bangunan masjid itu porak-poranda.
Dia bisa menerima rumah dan toko milik orangtuanya rusak. Tak sedikitpun dia menangis selama seminggu di pengungsian. Namun, dia tak kuasa melihat masjid hancur.
“Saya lebih sedih masjid dirusak daripada rumah saya,” kata Fatimah.
Di sisa perjalanan itu Fatimah irit bicara. Dia lebih banyak diam. Mobil meluncur cepat.
***
Pulau Lombok termasuk salah satu sentra program transmigrasi di Indonesia. Di Mataram, ada sebuah gedung khusus tempat para calon transmigran dilatih selama seminggu. Gedung ini berisi empat bangsal. Luasnya sekitar 30 x 10 meter persegi. Satu bangunan di bagian barat berfungsi sebagai rumah penjaga dan gudang. Penduduk menyebut gedung transmigrasi ini sebagai Transito.Selama pengusiran jemaah Ahmadiyah, bangsal-bangsal Transito digunakan sebagai tempat penampungan. Para pengungsi Ahmadiyah diberi ultimatum dua minggu untuk mencari tempat tinggal baru.
Pengurus Ahmadiyah di Jakarta kemudian segera mengirim orang untuk mendampingi jemaah Ahmadiyah Lombok. Pemerintah Mataram tak punya kepentingan meminta orang-orang Ahmadiyah pindah keyakinan. Agus Mubarik salah satu orang yang dikirim dari Jakarta pada gelombang kedua.
Mubarik mengatakan, fokus pekerjaannya saat itu adalah memikirkan bagaimana menyelamatkan pendidikan anak-anak pengungsi serta memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga pengungsi.
Berita penyerangan di Pancor dan Selong masih hangat di Pulau Lombok. Para pengurus berpikir, sekolah-sekolah takkan mau menerima mereka usai pengusiran. Padahal, ujian sekolah makin dekat menjelang akhir September 2002. Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Abdul Basith, lalu memutuskan anak-anak dipindahkan ke lokasi lain untuk bersekolah.
Atun mendengar kabar kepindahan itu. Beritanya beredar cepat. Sepengetahuannya, mereka akan dikirim ke Pulau Jawa. Mereka akan ditempatkan bersama-sama di satu asrama. Dia menyambut gembira; membayangkan betapa menyenangkannya melihat kota besar. Apalagi dia akan bersama teman-temannya.
Namun, tak semua anak sekolah diijinkan ikut oleh orangtua. Kelas 4 Sekolah Dasar menjadi batas minimal kriteria. Beberapa siswa kelas 3 lalu bersikeras. Anak-anak sungkan berpisah dengan teman sebayanya.
Pada pagi, 29 September 2002, bersama ibunya, Atun berangkat ke pasar Cakra, 300 meter dari Transito. Dia membeli beberapa pakaian. Sewaktu mengungsi, orangtuanya sedikit membawa bekal pakaian buat Atun. Ibunya khusus membeli buah-buahan berupa mangga dan jeruk.
Siangnya, 48 pengungsi diberangkatkan dengan bus Safari Darma Raya, sebuah armada besar yang melayani jalur Nusa Tenggara-Jakarta. Badan bus ini ini memiliki ciri berupa pemandangan satwa gajah berlatar hutan. Mereka didampingi Amin Agus, pengurus Ahmadiyah cabang Pancor.
Ruhiyatun Fajri senang membayangkan perjalanan ini. Namun, dia sedikit sedih ketika bus siap berangkat. Ibu-ibu menangis.
Atun ingat, ada temannya bernama Uwatun Hasanah dari Sawing yang mengalami kejang-kejang perut; mengerang kesakitan di bagian belakang bus, dekat toilet. Suara jeritannya terdengar menyakitkan. Dari kursinya, Atun melihat salah satu sopir bus memijit Anna, panggilan Uwatun Hasanah. Sopir itu bertampang seram. Tubuhnya tinggi dan kurus, kulitnya hitam dan pendiam. Dia sedikit ketakutan saat melihatnya pertamakali. Namun, setelah melihat bantuannya pada Anna, Atun menilai sopir itu punya hati baik, tak seseram yang dia bayangkan.
***
Senin, 1 Oktober 2002. Jemaah Ahmadiyah di Parung baru saja menunaikan salat subuh saat mendengar kedatangan anak-anak dari Lombok. Beberapa pemuda segera menuruni lantai dua masjid. Bangunan masjid bergaya modern, dicat putih dengan konsep minimalis. Tulisan aksara Arab dan aksen menara memberi petunjuk sekilas adanya tempat ibadah. Sopir angkutan umum lebih mengenal tempat ini sebagai Kampus Mubarak.Dibantu siswa-siswa Jamiah, sebutan bagi calon mubaligh Ahmadiyah, anak-anak pengungsi diantar ke bagian belakang kompleks. Sedikit terpisah, ada gedung bernama Lajnah Imailah, sayap organisasi perempuan Ahmadiyah. Gedung tiga lantai ini dibangun awal 1990-an.
Atun kagum melihat gedung di sekitarnya. Di Kota Selong, kampung halamannya, sedikit gedung tinggi.
Sebetulnya, lokasi Parung tak terlalu asing bagi jemaah Ahmadiyah dari Lombok. Setiap tahun, Ahmadiyah mengadakan Jalsah Salanah, pertemuan nasional berisi ceramah agama. Ahmadiyah cabang Pancor dikenal fanatik mengikuti kegiatan ini. Mereka mengirim puluhan anggota setiap Jalsah Salanah. Ini dinilai prestasi luarbiasa mengingat lokasi mereka yang jauh dari Pulau Jawa. Lokasi Parung juga menjadi pusat pendidikan mubaligh.
Atun senang saat dirinya dan teman-teman menerima perlengkapan sekolah baru. Mereka mendapatkan satu set buku, tas, seragam sekolah, hingga sepatu.
Namun, Parung cuma tempat sementara. Tasikmalaya, Jawa Barat, adalah tujuan terakhir anak-anak pengungsi ini.
***
Wanasigra terletak di Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu. Ini daerah perbatasan Tasikmalaya dan Garut, dipisahkan sealur sungai yang mengalir dari Gunung Cikuray. Jalannya berbatu dan menanjak sepanjang tiga ratus meter. Ia dikelilingi sawah dan hutan. Delapan puluh persen penduduk Tenjowaringin merupakan pengikut Ahmadiyah.Menurut Agus Mubarik, saat itu mereka lebih memilih “menangani masalah dalam hening.” Seluruh aktivitas pengungsian dan pemulihan berlangsung tanpa mengundang perhatian media. Beritanya sebatas muncul di media-media lokal Lombok.
Busra, istri Attaul Razak, mengatakan, suaminya yang memilih lokasi ini. Razak adalah mubaligh Ahmadiyah Nusa Tenggara. Pada Juli 2002, Razak mengirim enam anak Ahmadi dari Lombok ke Kota Tasikmalaya. Mereka ditampung dan disekolahkan di sebuah panti asuhan milik Ahmadiyah. Razak sangat memperhatikan pendidikan anak-anak pengungsi.
Segera sesudah kedatangan, mereka dikumpulkan di masjid. Laki-laki dan perempuan dipisah. Anak-anak ini hendak dipingit sebagai anak asuh.
Atun merasa badannya lelah. Ini perjalanan terpanjang yang baru dia alami. Tenaga terkuras. Udara di Wanasigra dingin, menusuk tulang ketika malam.
“Mau ikut saya ke rumah?” tanya seorang pria yang baru muncul.
“Ya,” ujar Atun cepat. Dia terlalu lelah menunggu. Atun mengajak Maemunah, anak pengungsi yang dia kenal.
Pria itu bernama Cecep. Rumahnya terletak di Kampung Nagrak, satu perkampungan kecil di lereng bukit bagian timur Wanasigra. Istrinya, Nina, sudah menunggu mereka di warung makan milik Ibu Cecep, di tepi jalan raya utama.
Setiba di warung Ibu Cecep, mereka diajak makan. Namun, keduanya malu-malu. Beberapa orang di warung kemudian berusaha meneduhkan hati mereka.
“Sabar ya, Nak,” kata mereka.
Di rumah, mereka langsung tidur nyenyak. Atun mengatakan, sejak mengungsi selama tiga minggu, inilah pertamakali dirinya tidur di sebuah kamar.
Pagi pertama di rumah baru, Atun disambut pemandangan indah: bukit hiijau, hamparan sawah, pohon-pohon, Gunung Cikuray, dan barisan bukit yang berkelok. Di sebelah barat, terlihat jalan menuju Kampung Wanasigra. Rumah-rumah berjejer di sepanjang jalan itu. Letaknya berjauhan satu sama lain lalu memadat di pertigaan menuju masjid.
Atun berseru keras. Suaranya menggema di alam seperti itu. Di ujung lain, dia melihat teman-temannya. Tangannya melambai. Dia melihat Ema dan Ica, dua anak Awaluddin, yang rumah merangkap toko keluarganya hancur di Selong. Ini perjumpaan pertama sejak terjadinya pengusiran. Mereka lantas berlari-lari menyusuri jalan-jalan tanah.
Anak-anak ini tak perlu lagi menyembunyikan diri sebagai Ahmadiyah. Masyarakat setempat menerima mereka dengan terbuka.
Atun melewati bulan Ramadhan, Oktober 2002, dengan rutin bersekolah. Setiap anak pengungsi bersekolah sesuai tingkat pendidikan mereka saat di Lombok Timur. Di sekolah, mereka juga bisa bebas berteman. Pak Ajun mengatakan, “kebanyakan murid orang Ahmadiyah”. Ajun ayah Cecep, dia juga mengajar di sekolah baru Atun.
Ini satu hal yang menguatkan psikologis anak-anak pengungsi. Atun, misalnya. Saat di Lombok Timur, dia selalu menyembunyikan identitas keyakinannya, khawatir teman-teman sekolah sungkan menerimanya. Dia sering diejek dengan julukan “si ninja Sawing” yang merujuk pada kerudung yang dia pakai sehari-hari dan nama kampungnya. Anak perempuan Ahmadiyah memang selalu memakai kerudung ketika bersekolah. Atun juga pernah berbohong kepada petugas sekolah bahwa dirinya bukan Ahmadiyah, dan merasa berdosa demi menutupi keyakinan ini.
Di sekolahnya yang baru, Atun memilih duduk sebangku dengan Arif Rahman Hakim, adik Hultiya Fatimah, anak dari keluarga Musifudin, salah satu pengurus Ahmadiyah cabang Pancor. Alasannya, dia masih lebih kerasan dengan teman lama. Untungnya, guru membolehkan.
Hanya saja, perbedaan budaya menjadi kendala, dan butuh waktu lama untuk beradaptasi. Atun tak biasa dengan orang-orang yang bergunjing di belakang. Di Lombok, orang tidak berlaku baik di depan namun menusuk di belakang.
Demikian juga persoalan makanan. Cecep yang bekerja sebagai sopir angkutan umum dan Nina yang berjualan warung makan pinggir Jalan membuat pasangan ini kerap tiba di rumah pada malam hari. Karenanya, keluarga ini jarang masak. Makanan dikirim dari warung. Menunya memang lezat, bermacam ikan dan sayur.
Awalnya, ikan-ikan yang dikirim terasa lezat, meski sedikit tawar. Tapi, Atun terkejut setelah melihat bagaimana ikan-ikan ini didapat. Kolam-kolam ikan, atau orang Sunda menyebutnya “empang”, juga dijadikan tempat buang kotoran manusia, yang lantas menjadi makanan ikan-ikan. Setiap rumah di perkampungan sekitar Wanasigra punya empang macam ini. Memikirkannya bikin Atun mual. Dia sampai berbohong tak suka makan ikan.
Berbagai macam perbedaan ini memang tak terperhatikan oleh para orang dewasa saat pemindahan. Mereka lebih dikejar waktu sehingga tak memperhatikan aspirasi anak terkait aspek kebudayaan dan psikologi. Dan Tasikmalaya dapat menyediakan segalanya dengan cepat.
“Katanya mau ditaruh di satu asrama. Semuanya anak Lombok. Tapi enggak jadi. Saya dulu tinggal di Cikuray…. Berapa malam itu enggak bisa tidur. Nangis mulu (melulu-red),” kata Mubarak Hamdan Umar, anak pengungsi dari Kampung Sawing.
Menjelang kelas enam Sekolah Dasar, Mubarak akhirnya memilih pulang ke Lombok. Dia tak tahan dengan udara dingin pegunungan dan sering sakit-sakitan.
Pada Juni 2003, delapan bulan usai perpindahan, anak-anak sekolah menghadapi ujian naik kelas. Saatnya mereka pindah sekolah. Satu demi satu anak-anak pengungsi pulang. Mereka, umumnya anak-anak setingkat Sekolah Dasar, sulit beradaptasi dengan tempat baru. Beberapa anak berganti orangtua asuh, bergabung dengan anak lain. Harapannya, dengan memilih sendiri dan bersama pengungsi lain yang disukai, mereka cepat beradaptasi. Tapi, banyak dari mereka tetap tak bisa berpisah dengan orangtua sendiri.
Malik Saifur Rahman adalah anak pertama yang pulang. Kakak tertuanya, Khaerudin, datang menjemput. Kabar kepulangan kembali ini cepat menyebar. Ditambah kabar lain yang beredar bahwa “akan lebih banyak anak menyusul pulang”.
Atun gelisah. Dia bosan. Kesepian. Dia sering bertengkar dengan anak pasangan Cecep dan Nina. Dia berpikir, lebih nyaman tinggal dengan orangtua sendiri, meski hidup mengungsi, terusir dari kampung halaman, meski kondisinya jauh lebih buruk dari hidupnya sekarang di perantauan.
***
Sebagian besar Ahmadi memilih menikah dengan sesama Ahmadi. Ini semacam sesuatu yang alamiah, terpatri kuat dalam setiap keluarga Ahmadiyah. Populasi keyakinan yang minoritas di Indonesia menyebabkan terjadi pernikahan dalam keluarga atau marga. Di komunitas-komunitas Ahmadi yang terkonsentrasi, seseorang dapat cepat disangkutkan melalui hubungan darah atau pernikahan dengan tetangganya.Jalsah Salanah, pertemuan tahunan resmi Jemaat Ahmadiyah Indonesia, biasa mengambil waktu libur sekolah, antara Juni dan Juli. Selain ceramah agama, sebetulnya ia juga seperti reuni keluarga. Orang-orang Ahmadi yang migrasi, karena pernikahan atau alasan lain, bisa menemui keluarga mereka atau menitip sesuatu kepada rekan satu daerah.
Atun mendengar teman-temannya akan dijemput dalam Jalsah Salanah 2003. Bahkan, sudah beredar nama-nama anak yang dihubungi untuk pulang. Mendekati Jalsah, Atun tak mendengar dia termasuk salah satu dari mereka. Selama delapan bulan dalam pengungsian, sejak terpisah sejak di Transito, tak ada komunikasi sekalipun dengan orangtua dan keluarganya di Mataram.
Kesedihannya memuncak. Dia lebih sering bertengkar dengan Gina, anak satu-satunya pasangan Cecep dan Nina. Atun melihat Gina saling berbisik bersama teman-teman, dengan bahasa Sunda, sambil memandanginya. Atun merasa mereka membicarakan dirinya.
Puncaknya, Atun minta pindah rumah. Cecep dan Nina mencoba membujuknya. Gina lalu dipindahkan ke rumah neneknya selama dua hari. Saat kembali, dia tak lagi melihat Gina mencibir. Namun, kesepian Atun makin besar.
Dia pernah berniat kabur. Garut kota terdekat, pikirnya. Jika bisa mencapai Garut, mungkin dia bisa naik bus kembali ke Mataram. Pikiran ini makin lama kian mengisi hari-harinya. Dia memulai dengan menjual barang-barang miliknya: dimulai dari sarung yang didapatnya saat di Bogor seharga Rp. 3 ribu. Anak-anak Lombok sering menjual barang-barang mereka ketika membutuhkan uang. Teman-temannya bahkan sering menjual barang-barang dari jatah bulanan atau pemberian lain. Sebetulnya, pasangan Cecep dan Nina mau melakukan apapun demi Atun. Hanya saja, Atun malu.
Setelah dikira-kira, barang-barang miliknya yang ia jual hanya cukup untuk perjalanan sampai ke Garut. Karena ongkos ke Mataram pasti mahal, dia menimbang untuk menambahnya dengan mengamen.
Tapi, menjelang Jalsah Salanah, Ketua Cabang Ahmadiyah Wanasigra, Solihin, mengumumkan sesuatu.
“Anak-anak Lombok yang ingin pulang dapat ikut ke Jalsah di Bogor,” kata Solihin.
Atun segera mengambil kesempatan ini.
Keputusan Atun membuat Nina menangis. Nina menyiapkan bekal uang dan makanan.
“Kalau sudah sampai Lombok, jangan lupa ya sama kami…,” ujar Nina.
Namun, di Bogor, tak ada yang menjemputnya. Atun kembali ke Wanasigra.
Di rumah Solihin, bersama anak-anak senasib dirinya, mereka dikumpulkan.
“Apakah mau kembali lagi pada orangtua asuh yang lama?” tanya Solihin.
Atun menolak. Dia malu karena sudah berpamitan. Dia juga merasa kesepian. Seseorang bernama Nos Barnas menjadi orangtua asuh Atun berikutnya.
Rumah Nos Barnas di Kampung Citeguh. Ini pusat Desa Tenjowaringin. Letaknya dua kilometer dari Wanasigra. Citeguh memiliki satu masjid besar. Dari tempat wudu, terhampar Sungai Cikuray dengan batu-batu besar. Deretan pohon pinus bikin sejuk udara.
Nos Barnas tinggal bersama dua cucu laki-laki. Ini tempat tinggal sementara bagi Atun selama enam bulan. Tujuan sebetulnya adalah rumah Ibu Oom, anak dari Nos Barnas.
Atun senang dengan orangtua asuhnya yang baru. Bu Oom mengerti bagaimana memperlakukan anak barunya. Tahu Atun masih malu minta sesuatu, dia sering bertanya kepada Citra, anak asuh lain setempat.
Bu Oom juga menanyakan kepada Atun tentang pembayaran iuran sekolah. Setiap bulan, Atun, seperti anak-anak pengungsi lain, mendapat jatah uang sekolah, uang saku, kadang juga beberapa barang. Anak-anak di Citeguh, karena tempatnya lebih jauh, sering menerima lebih lambat dari teman-teman mereka di Wanasigra. Bu Oom biasanya membayar uang sekolah Atun lebih dulu.
Atun suka dengan bentuk perhatian Bu Oom yang memberi nasihat langsung. Jika salah, dia langsung ditegur. Dia juga diberi tanggungjawab untuk mengawasi dan mendidik anak bungsu Bu Oom. Atun merasa seperti anak kandung sendiri.
Hingga usianya setingkat Sekolah Menengah Umum, tak sekalipun Atun ingin pindah ke tempat lain.
Di Wanasigra, ada Sekolah Menengah Umum, berdiri pada 2000, melalui Yayasan Alwahid. Peresmiannya dilakukan oleh Mirza Tahir Ahmad, pemimpin internasional Ahmadiyah, saat berkunjung ke Indonesia. Sekolah ini menjadi tujuan utama anak-anak Ahmadi di Indonesia. Seluruh anak pengungsi dari Lombok di kawasan Tenjowaringin bersekolah di sini.
Letaknya di dekat persimpangan menuju masjid Wanasigra. Menjorok di tepi jurang, berbatas kebun sayur serta Sungai Cikuray. Tiang-tiang tinggi menyangga bagian utara pondasi gedung sekolah. Dari Citeguh, jaraknya sekitar dua kilometer dengan melintasi jalur kabupaten serta jalan berbatu dan mendaki. Atun sekolah di Sekolah Menengah Umum Alwahid ini.
Tiga tahun dia menyusuri jalan-jalan antara Citeguh dan Wanasigra. Alamnya yang indah, suasana belajar yang jauh dari kebisingan, pengabdian guru-guru yang dia kagumi, bikin Atun nyaman. Hujan menjadi musuh utama. Bau pete dan jengkol dari rumah penduduk kadang-kadang menyambangi kelas belajar.
Dua tahun berikutnya, Atun sempat merantau kerja ke Bogor dan Karawang. Pekerjaan tak berjalan mulus. Gaji kecil. Pada pertengahan 2009, dia memutuskan pulang ke Lombok.
Dia tinggal bersama orangtuanya di sebuah rumah milik Ahmadiyah di Kampung Ketapang, Desa Gegerung. Tiap malam Atun mengayuh sepeda ke kota. Di dekat pasar Cakra, dia bekerja di warung makan pinggir jalan. Dia berjualan sup dan jus buah. Tiap malam dia mendapat Rp. 20 ribu. Ini jumlah kecil, tapi pekerjaan macam ini cukup memberinya kesibukan. Selepas bekerja, dia tak langsung pulang. Dia kembali ke Transito, menginap hingga subuh.
Irma Nurmayanti dan Hultiya Fatimah lebih beruntung. Sekolah mereka di Kota Selong memberikan surat pindah lengkap. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama Ciomas, Bogor, pada 2003 Fatimah kembali ke Mataram. Irma menyusul setahun kemudian. Fatimah tengah menanti kelulusan dari Universitas Mataram. Hanya mereka berdua dari seluruh anak pengungsi di Lombok yang dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri.
Transito masih dihuni oleh warga Ahmadiyah. Bukan dua minggu macam ultimatum pertama pada 2002, tapi tahunan, dan hingga kini. Pada Feburari 2006, perkampungan para pengungsi di Ketapang diserbu, untuk kedua kali. Dan kejadian serupa terus menerus terjadi. Para pengungsi memilih bertahan sampai Pemerintah Lombok memberi jaminan keamanan. Rata-rata, pengungsi sudah pernah diusir lebih dari sekali dari rumah mereka. Bahkan, ada yang diusir hingga lima kali kurang dari sepuluh tahun.
Tak hanya di Lombok, penyerangan dari mereka yang membenci juga terus dilancarkan ke kantong-kantong jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat. Mereka diburu. Pada November 2010, masjid dan puluhan rumah dibakar di Kampung Cisalada, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Keluarga Awaluddin, yang kini tinggal di sana, menjadi saksi; bagai drama Lombok yang dipentaskan ulang.
Bahkan, Panti Asuhan Hasanah Kautsar milik Ahmadiyah di Kawalu, Tasikmalaya, tak luput dari serangan. Panti mereka digembok dan diteror. Enam anak dari Lombok menghuni panti ini sejak 2002. Kini tersisa dua.
Sopwatur Rohman, kini 18 tahun, adalah salah seorang penghuni asal Lombok di panti itu. Kampungnya diserang. Dalam penyerangan yang brutal, salah satu tetangganya tewas. Selama delapan tahun ia merasakan gangguan dan teror di panti, hingga akhirnya digembok.
Dalam suatu pertemuan yang diikuti oleh sejumlah elemen masyarakat di Jakarta pada Desember 2010, Sopwatur hadir. Ia berujar lirih.
“Di Lombok, kita sudah diusir. Kalau di Tasik diusir juga, kita pindah ke mana lagi?”
(Penulis : Firdaus Mubarik (anggota Majlis Khuddamul Ahmadiyah Kebayoran - Karya Jurnalis ini adalah Pemenang penghargaan liputan anak 2010-2011 kategori media cetak/on line yg diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) & UNICEF)
baca versi online : http://www.lenteratimur.com/anak-anak-menjadi-perantau/